Palembang –
Sebuah bangunan bekas gudang di Pulau Kemaro dijadikan sebagai kamp tahanan anggota dan simpatisan PKI pada tahun 1965. Perjalanan ke sana begitu mencekam.
Sebelumnya, gudang milik PT Waskita Karya itu difungsikan sebagai tempat penyimpanan barang bangunan untuk membangun Jembatan Ampera dari tahun 1962 hingga 1965.
Setelah Jembatan Ampera selesai dibangun, muncul Gerakan 30 September atau dikenal dengan nama G30S/PKI.
Orang-orang yang terlibat dengan partai politik berhalauan kiri itu, dari mulai anggota, pengurus hingga simpatisan diberangus dan ditumpas. Mereka ditangkap dan menjadi tahanan politik (tapol).
Perjalanan Mencekam ke Pulau Kemaro
Sejarawan Palembang Dedi Irwanto mengatakan tahanan PKI dari Pulau Sumatera, terutama di bagian selatan, diangkut menggunakan truk dan kereta api untuk menuju ke pulau Kemaro.
Mereka dimasukkan ke dalam satu gerbong yang berisi karet mentah menuju ujung timur Pulau Kemaro. Saat tiba di Stasiun Kertapati, banyak tahanan yang sudah menjadi mayat.
Menurut sumber yang ditemukan Dedi, mereka tidak mampu bertahan hidup karena terpapar bau karet yang sangat menyengat.
“Menurut beberapa orang, ketika diangkut sudah banyak yang mati di gerbong. Sampai di Kertapati banyak tahanan yang juga sudah mati” ujar Dedi, Jumat (13/9) lalu.
Sisa-sisa tahanan yang masih hidup kemudian dibawa menuju gudang Waskita Karya di ujung timur Pulau Kemaro. Mereka berkumpul di sebuah bangunan bedeng berbentuk L yang terbagi menjadi beberapa ruangan atau blok.
Ibarat sebuah penjara di pulau terpencil, tahanan politik itu dijaga oleh petugas militer.
Mereka Disiksa di Blok C
Salah satu ruangan di kamp itu dijadikan sebagai tempat menyiksa tahanan. Ruangan itu bernama blok C.
Mereka yang melakukan kesalahan fatal atau status permasalahannya besar mendapatkan siksaan dari petugas. Penyiksaan terjadi tanpa henti dari tahun 1965 hingga 1967.
“Cukup banyak yang meninggal dunia dari tahun pertama, kedua, hingga ketiga. Hampir setiap hari tahanan yang dimasukkan ke blok C banyak meninggal. Mereka rata-rata langsung dibuang ke Sungai Musi,” jelas Dedi.
Warga sekitar pulau Kemaro pun bisa merasakan kelamnya hidup para tahanan. Mereka cukup lama tidak bisa makan ikan karena adanya kamp tersebut. Banyak pula warga yang melihat mayat mengapung pada tahun 1965-1967.
“Nelayan yang dapat ikan itu sering menemukan jari manusia saat membersihkan perut ikan,” lanjutnya.
Tahanan yang Bertahan Hidup Diasingkan ke Pulau Buru
Kehidupan kamp tahanan PKI di ujung Pulau Kemaro bertahan hingga tahun 1967. Tersisa kurang lebih 30 orang yang masih selamat dan dipindahkan ke markas militer di Palembang.
Mereka melakukan pemeriksaan untuk membuktikan masih terlibat dengan PKI atau tidak. Jika masih, maka mereka akan langsung dikirim ke Pulau Buru, Maluku untuk diasingkan.
“Sebagian besar mereka dikirim ke Pulau Buru. Sekitar tiga orang yang tidak terbukti dan selamat. Sisanya dipindahkan ke Pulau Buru,” kata Dedi.
Jumlah tapol yang diasingkan ke Pulau Kemaro tidak diketahui pasti. Karena setiap tahun terjadi penambahan tahanan selama 1965-1967. Perkiraan Dedi sekitar 500 orang.
Dari keseluruhan tahanan tersebut, ada 300 orang yang meninggal dunia. Mayat mereka menyatu dengan Sungai Musi dan Pulau Kemaro, tanpa dikubur sama sekali. Hal itu yang membuat sisi timur Kemaro dianggap paling mistis.
Menurut Ishak (62), salah satu warga Kampung Air, Pulau Kemaro, tidak ada lagi kehidupan yang terjadi di ujung timur pulau. Lokasi kamp ditinggalkan dan tidak dihuni.
Akhirnya bangunan kamp hancur dimakan usia pada tahun 1990-an. Penyebabnya karena pengikisan daratan oleh gelombang dan arus sungai sehingga tergerus air.
Dari penelusuran Tim detikSumbagsel lokasi kamp tahanan PKI di pulau Kemaro itu sudah tak bersisa. Hanya ada pecahan batu bata, semen dan genteng yang hancur menyatu dengan daratan.
Bangunan itu pun ditumbuhi rumput liar serta pohon. Tanda-tanda kehidupan manusia pun tidak ditemukan. Hanya ada tersisa sampah yang berserakan.
——-
Artikel ini telah naik di detikSumbagsel.
(wsw/wsw)