Jakarta –
Indonesia memiliki cukup banyak China Town atau Pecinan. Berikut tujuh Pecinan terpopuler di Tanah Air.
Sebagai negara kepulauan dengan sejarah panjang perdagangan dan migrasi, Indonesia telah menjadi rumah bagi berbagai etnis dan budaya.
Salah satunya adalah komunitas etnis Tionghoa yang memberikan pengaruh besar dan telah tinggal serta berkontribusi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya di berbagai daerah.
Warisan budaya Tionghoa ini dapat ditemukan di berbagai kawasan Pecinan atau Chinatown yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dikutip dari Antara, detikJateng, dan sumber pendukung lain, kawasan-kawasan itu tidak hanya menjadi pusat aktivitas komunitas Tionghoa saja, tetapi juga menjadi destinasi wisata yang menawarkan kombinasi unik dalam alkulturasi sosial budaya.
Berikut daftar kawasan Chinatown terpopuler di Indonesia:
1. Kawasan Glodok – Jakarta
Suasana di Glodok menejlang Imlek (Ignacio Geordi Oswaldo/detikcom)
|
Sebagai kota metropolitan dan pusat bisnis, Jakarta memiliki komunitas warga keturunan Tionghoa di Glodok, Barat Jakarta. Area itu terbentuk sejak peristiwa 1740 (Geger Pecinan) dengan pemberlakuan aturan bahwa orang Tionghoa harus tinggal di luar tembok Batavia.
Kawasan itu dikenal sebagai Chinatown tertua di Indonesia dan memiliki ciri khas tersendiri. Meski dikelilingi bangunan modern, Glodok tetap mempertahankan nuansa tradisionalnya.
Di sini, pengunjung dapat menemukan berbagai peninggalan sejarah, toko legendaris yang menjual pakaian, elektronik, hingga kuliner khas yang sudah ada sejak 1990-an.
2. Kawasan Kya Kya – Surabaya
Kya-Kya, kawasan Pecinan di Surabaya (Hanaa Septiana)
|
Wilayah Kya Kya dikenal sebagai pusat pecinan yang ada di Surabaya. Dikutip dari laman Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, Kya-kya atau Kembang Jepun semula bernama Handelstraat. Nama tersebut berasal dari bahasa Belanda, yaitu ‘handel’ yang berarti perdagangan dan ‘staat’ yang artinya jalan.
Sebagai sebuah kawasan perdagangan, Handelstraat kemudian tumbuh dengan sangat dinamis. Begitu pula pada zaman pendudukan Jepang, nama Kembang Jepun muncul dan menjadi terkenal.
Nama Kembang Jepun disematkan karena pada masa itu banyak serdadu Jepang (Jepun) memiliki teman-teman wanita (kembang) di sekitar daerah ini. Kemudian, pada saat banyak pedagang Tionghoa menjadi bagian dari kehidupan Kembang Jepun, sebuah gerbang kawasan yang bernuansa arsitektur Tionghoa pernah dibangun di sini.
Kini salah satu daya tarik utama di kawasan ini adalah Rumah Abu Keluarga Han yang menjadi cagar budaya serta klenteng Hok An King, satu-satunya klenteng Dewa Makco di Surabaya. Area itu juga kerap menyuguhkan pagelaran budaya, baik budaya Tionghoa maupun budaya lokal seperti musik keroncong.
Kya Kya juga merupakan surga bagi pecinta kuliner dengan banyaknya pilihan makanan khas pecinan dan Surabaya.
3. Kawasan Sudiroprajan – Solo
Kelenteng Tien Kok Sie di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo (Trisetiawan Putra/detikcom)
|
Kawasan Pecinan di Surakarta berada Kampung Balong, Sudiroprajan, Jebres. Terdapat beberapa versi mengenai asal usul nama Kampung Balong.
Versi pertama menyebutkan bahwa nama “Balong” berasal dari kata “balongan” yang berarti tengkorak. Konon, dahulu kala di tempat tersebut terdapat banyak tengkorak manusia yang dibuang setelah pertempuran.
Versi kedua mengatakan bahwa “Balong” berasal dari kata “balong” dalam bahasa Jawa yang berarti kolam. Dahulu, di tengah kampung terdapat sebuah kolam besar yang menjadi sumber air bagi penduduk.
Versi ketiga mengemukakan bahwa “Balong” merupakan pengucapan dari “Babah Long”, nama seorang saudagar Tionghoa yang diyakini sebagai pendiri Kampung Balong.
Kampung Balong telah menjadi permukiman etnis Tionghoa sejak abad ke-18. Pada masa itu, banyak pedagang Tionghoa yang datang ke Solo dan menetap di kampung ini. Mereka membangun rumah-rumah dengan arsitektur khas Tionghoa dan membuka berbagai usaha perdagangan.
Seiring waktu, Kampung Balong berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan ekonomi di Solo. Berbagai macam barang dagangan dapat ditemukan di sini, mulai dari bahan makanan, pakaian, hingga barang elektronik.
4. Kawasan Kauman – Semarang
Sejumlah kendaraan melintas di kawasan gapura Pecinan Kota Semarang, Jawa Tengah (Makna Zaezar/Antara)
|
Di Semarang, kawasan Chinatown terletak di Kauman, berdekatan dengan Kota Lama. Area itu menjadi perpaduan harmonis antara wisata religi, budaya, dan kuliner.
Sejarah Pecinan Semarang bermula sejak ratusan tahun lalu. Wilayah itu terkait dengan peristiwa pemberontakan masyarakat Tionghoa pada masa kolonial, yang dimulai di Batavia (sekarang Jakarta) pada 1740. Akibat pemberontakan tersebut, masyarakat Tionghoa yang dipindahkan oleh Belanda ke Semarang.
Komunitas Tionghoa berada di daerah Simongan sekitar tahun 1740, dekat kelenteng Sam Poo Kong. Oleh Belanda, pemukiman itu dipindahkan ke pusat kota untuk mengendalikan dampak pemberontakan dan memantau aktivitas masyarakat Tionghoa.
Pemukiman baru itu terletak di sebelah timur Sungai Semarang, dipindahkan ke sebelah barat sungai pada 1741, memisahkan pemukiman Belanda dan Cina.
Pemindahan itu dianggap menguntungkan berdasarkan feng shui, dengan pemukiman yang dikelilingi oleh sungai. Pecinan baru itu berkembang menjadi kawasan multi-fungsi, mencakup bisnis, hunian, dan kegiatan budaya.
Kawasan Pecinan Semarang di Pecinan Lor (Utara) atau A-long-knee, yang dikenal sebagai Gang Waru, serta Pecinan Kidul (Selatan) yang dikenal sebagai Sebandaran berkembang pesat. Daerah Pecinan Wetan (Timur) seperti Gang Pinggir juga menjadi salah satu kawasan yang berkembang paling awal.
5. Kawasan Bukit Nagoya – Batam
Kawasan Nagoya di Batam, Kepulauan Riau saat ini merupakan pusat hiburan, pertokoan, dan Pecinan. Ya, kendati namanya sangat Jepang, namun Bukit Nagoya adalah kawasan China Town.
Bukit Nagoya bukan nama resmi, hanya sebutan populer. Area itu memiliki nama administrasi Sungai Jodoh. Disebut-sebut dulu ada titik keberangkatan orang Batam ke Singapura dengan boat-boat kayu, tak perlu paspor. Teluk Jodoh dianggap sebagai tempat suci memulai pernikahan atau berumah tangga.
Bukit Nagoya itu disebut sebagai China Town dengan masyarakat Tionghoa yang tinggal di sana. Di kawasan itu pula terdapat klenteng yang masih digunakan untuk beribadah oleh masyarakat setempat, Wihara Duta Maitreya, Wihara Budhi Bhakti, dan Pa Auk Tawya.
6. Singkawang – Kalimantan Barat
Perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalbar, Sabtu (24/2/2024) (Umpro Kalbar)
|
Singkawang yang memiliki komunitas Tionghoa terbesar di Indonesia, dikenal sebagai “Kota Seribu Klenteng.” Budaya Tionghoa sangat kental di kota ini, terutama saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Setiap tahunnya, Singkawang menyelenggarakan pawai besar, pertunjukan seni, dan dekorasi meriah yang menarik wisatawan dari berbagai daerah. Dengan atmosfer yang unik, Singkawang menjadi salah satu destinasi Chinatown yang wajib dikunjungi.
7. Kawasan Asia Mega Emas – Medan
Kawasan Asia Mega Emas menjadi pusat komunitas Tionghoa di Medan. Kawasan ini terkenal dengan kulinernya yang menggoda selera.
Wisatawan disarankan untuk datang pada sore atau malam hari, ketika kawasan ini dipenuhi aktivitas dan keramaian. Aneka kuliner khas pecinan tersedia di sini, menjadikannya surga bagi pecinta makanan.
(fem/fem)