Puncak Carstensz di Papua merupakan titik tertinggi di Indonesia, 4.884 mdpl. Pendakian ke sana menggetarkan jiwa, begini kisahnya.
Dua pendaki wanita Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono meninggal dunia di Puncak Carstensz. Mereka dilaporkan meninggal dunia pada Sabtu (1/3) dini hari, diduga karena hipotermia, saat perjalanan turun dari puncaknya.
Para pendaki berduka. Lilie dan Elsa telah menjadi contoh dan inspirasi bagi para pendaki lainnya. Beristirahatlah dalam damai di pelukan Puncak Carstensz.
Saya pernah jadi bagian dari ‘Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz’ di tahun 2015 silam. Ketika itu, sekitar 10 media dari Jakarta diundang putra Papua, Maximus Tipagau, pemilik operator tur Adventure Carstensz dan pendiri Yayasan Somatua.
Perjalanan ditempuh dari Jakarta ke Timika. Mulanya, rencana kami adalah mendaki dari kawasan tambang, Freeport.
Untuk diketahui, Freeport berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lorentz, yang mana Puncak Carstensz ada di dalamnya. Rutenya dari Tembaga Pura lanjut ke kawasan Grasberg, kemudian ke Bali Dam.
Dari Bali Dam, pendaki bisa jalan kaki sekitar 4-5 jam untuk mencapai basecamp Danau-Danau di ketinggian 4.261 mdpl. Namun tentu, izinnya sangat ketat.
Kuasa Tuhan, ketika itu kami tidak mendapat izin. Lain sisi, ada rangkaian acara lainnya di sana karena bertepatan dengan 17 Agustus.
Maximus tidak patah arang. Kepalang tanggung, jalur pendakian lain diambil. Jalur kampung!
Setelah lima hari luntang-lantung di Timika, kami berembuk. Maximus bersedia membawa kami ke Puncak Carstensz dengan rute Timika-Sugapa-Ugimba-Carstensz.
Kebanyakan media mundur. Alasannya jelas, ada titik-titik yang masuk dalam zona merah tempatnya OPM yang kini disebut KKB. Demi faktor keselamatan nyawa, mereka harus mengubur mimpinya.
Hanya sisa saya dengan satu jurnalis lainnya. Saya pun sempat bimbang, tapi pihak kantor memberikan keputusan kepada saya. Ketika itu pula, Pimred detikcom bilang, ‘ini kesempatan emas buat Afif’. Itu bikin saya bangga, juga bikin was-was. Ini perintah, nih nggak bisa ditolak.
Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca dulu prolog pendakian saya ketika itu di sini.
Biar lebih menjiwai.
Tantangan Timika-Sugapa-Ugimba
Total enam pendaki yang terdiri dari dua media dan empat pendaki lainnya (dua dari perwakilan sekolah di Lombok, sisanya pendaki umum), kami berangkat ke Sugapa dengan pesawat perintis. Dari kejauhan, terlihat puncak terselimuti es. Itu di dekat Puncak Carstensz, yakni Puncak Jaya, Puncak Carstensz Timur dan Puncak Sumantri.
Puncak Carstensz Foto: Afif Farhan/detikTravel
|
Kami bermalam semalam di Sugapa. Dari situ dipecah dua tim. Satu tim jalan duluan dengan saya di dalam rombongannya, satu tim lainnya masih menyiapkan logistik dan mematangkan rencana.
Oh iya, kami dipandu oleh Hendricus Mutter, pendaki senior yang juga eks Ketua Harian Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) serta Ardeshir Yaftebbi dan Arif Faturrohman dari Wanadri.
Dari Sugapa, kami berjalan kaki 16 jam ke Ugimba. Pun sinyal telepon terakhir hanya bisa didapat di Sugapa, cuma bisa buat telepon dan SMS. Saya mengabari kantor dan orang tua, meminta doa.
“Afif kabarin seminggu lagi ya Bu, doain ya biar lancar,” begitu pesan terakhir saya ke ibu.
Ugimba Foto: (Afif Farhan/detikcom)
|
Upacara 17 Agustus Pertama Kalinya di Ugimba
Setelah seharian jalan kaki membelah hutan sejak pukul 07.00 WIT pada 16 Agustus, kami tiba di Ugimba pukul 21.00 WIT. Apes buat kami, tidak boleh ada pergerakan malam di sana!
Sebabnya, Ugimba belum pernah upacara bendera Merah Putih sejak Indonesia merdeka. Kebetulan, Maximus Tipagau adalah orang asli Ugimba dan dia sudah mengumumkan ke masyarakatnya, kalau saat itu upacara Merah Putih akan pertama kali diadakan!
Celaka buat kami, kami ditahan begitu menginjakkan kaki di Ugimba. Semua kartu identitas disita.
“Kakak tenang saja, mereka OPM, saudara kita juga,” bisik salah seorang porter.
Jleb! Kami jantungan. Setelah lama disuruh jongkok, kami dihadapkan kepada Pak Kumis yang disebut panglima perang. Kami digiring masuk ke home stay Maximus di sana, yang mana Maximus sendiri sedang negosiasi alot.
Pak Kumis duduk di atas kursi dengan senapan angin di tangannya dan ada golok di pinggangnya. Kami duduk di lantai.
Kami ditanya apa tujuan datang ke Ugimba dan berasal dari mana? Malama, salah seorang teman Maximus jadi penerjemah ke Pak Kumis.
Sekitar dua jam, kami dibebaskan dengan catatan harus diawasi. Pak Kumis beberapa kali diyakinkan Malama kalau rombongan kami hanyalah jurnalis dan pendaki, juga mau ikutan upacara. Kalau kami aparat atau tentara, bisa habis.
Setelahnya kami dibebaskan dengan catatan diawasi. Sudah capek jalan, lama jongkok, akhirnya kami beristirahat.
Besoknya pada 17 Agustus, kami mengikuti upacara Merah Putih pertama kalinya. Saya tak tahan meneteskan air mata, ketika berbaris tepat di sebelah lelaki tua dengan koteka, yang terbata-bata menyanyikan ‘Indonesia Raya’.
Belum lagi, tiga pengibar bendera tampak begitu riang. Para anak muda, satu wanita dan sisanya laki-laki, mereka sumringah melihat sepatu pantofel hitamnya.
Setelah sekitar lima hari di Ugimba, rombongan berikutnya datang. Rupanya ketika itu, ada satu pesawat perintis jatuh di Jayapura sehingga penerbangan-penerbangan lainnya di-cancel. Kebetulan, tim satunya lagi memang masih menanti logistik dari Timika.
Pendakian Tujuh Hari
Pendakian ke Puncak Carstensz dari Ugimba dimulai. Jika ditarik garis lurus, jaraknya 64 kilometer. Tentu di lapangan, lebih lebih jauhnya.
Kami memulai perjalanan setiap hari mulai pukul 07.00, istirahat pukul 12.00 (hanya makan snack tanpa makan siang), lalu berkemah pukul 17.00. Kami juga didampingi porter dengan biaya Rp 7 juta per hari.
Lucunya, porter-porter kami adalah mereka yang menahan kami di malam hari sebelumnya. Begitu saya mulai berkenalan, nyatanya hati mereka begitu lembut. Tipikal masyarakat Indonesia timur lainnya, terlihat garang tapi hatinya halus banget.
Apa rasanya jalan kaki tujuh hari? Capek banget, capek. Treknya naik-turun, kadang harus merayap ke akar pohon.
Belum lagi, hutan di Papua berbeda dengan di daerah lain. Saya pernah sekali tergelincir dan tanah yang saya pijak ambles. Ternyata, kami berjalan di atas tumpukan ranting pohon yang jumlahnya sangat amat banyak. Daerah ini belum pernah terjamah.
Perjalanan dari 2.000 mdpl akhirnya sampai di 4.000-an mdpl. Tepatnya di New Zealand Pass, saya kena petaka.
New Zealand Pass di Papua Foto: (Afif Farhan/detikTravel)
|
Saya kira saya sudah cukup untuk aklimatisasi. Nyatanya, saya muntah-muntah keluar air.
Rasanya capek banget ketika berjalan. Sekali langkah, rasanya sudah lima kali langkah. Saya tertinggal dari rombongan, ada di belakang. Cuma ada dua porter di belakang saya.
“Kakak, duluan saja. Saya tidak enak badan ini,” kata saya.
“Jangan kakak, paling belakang biasanya mati,” jawab salah satunya yang bernama Guanus.
Saya tercengang, terdiam. Guanus mengucapkan hal itu dengan datar, tidak bercanda.
“Baik, kakak di belakang saya ya. Saya coba jalan cepat,” kata saya, sembari memberikan cokelat untuk ‘suap’.
Desa Ugimba Foto: (Afif Farhan/detikTravel)
|
Begitu tiba di Basecamp Danau-danau, saya cuma berlutut lemas. Para pemandu langsung meminta saya beristirahat.
“Istirahat Fif, nggak usah minum obat. Tiga hari harus pulih,” kata Ardeshir.
Di tiga hari itu, saya cuma bisa menyaksikan para pendaki lainnya naik ke Puncak Jaya dan Puncak Carstensz Timur. Mereka menjelajahi salju abadi. Serunya.
“Fif, loe fokus ke Carstensz aja,” tegas Hendricus atau yang biasa disapa Pak Haji.
Pendakian ke Puncak Carstensz
Hari pendakian tiba. Tim dipecah jadi dua, Enam orang duluan di hari ini dan sisanya di hari esoknya. Saya masuk dalam rombongan di hari esoknya.
Summit attack dimulai pukul 01.00 dini hari. Rutenya menuju ke Yellow Valley dan mencapai kaki Puncak Carstensz. Dari situ, pendakian dilakukan dengan panjat tebing setinggi 800 meter untuk sampai di punggungan pegunungannya.
Pukul 17.30, para pendaki pulang. Saya menyambut dengan hangat, membuatkan teh panas dan menyiapkan camilan.
Mereka tampak bahagia. Mereka mencapai puncak tertinggi di Indonesia. Saya yang melihat foto-fotonya sempat merasa… apa mundur saja?
Saya sudah mencapai Basecamp Danau-danau setinggi 4.261 mdpl. Sudah lebih tinggi dari Gunung Kerinci.
“Kamu pasti bisa Fif,” kata salah seorang pendaki, Bambang.
Esoknya, giliran rombongan saya. Setelah memakai harnes dan perlengkapan lainnya, kami berjalan melewati Yellow Valley.
Ardeshir dan Pak Haji bersama kami. Mereka memberi arahan jelas, begitu pukul 10.00 belum sampai di Teras Besar di ketinggian 4.600 mdpl (semacam tanah yang cukup datar di pinggiran tebing) maka kami harus mundur.
Saya yang belum pernah punya pengalaman panjat tebing, cukup dibuat repot pada awalnya. Dengan teknik ascending, pijakan kaki harus seimbang, jangan sampai menginjak batu-batu kecil yang bisa membahayakan pendaki di bawahnya. Ketika merayap ke atas, bebatuannya ternyata cukup tajam. Jaket saya sempat robek, untung pakai tiga lapis.
Trek Pendakian Carstensz Foto: (Afif Farhan/detikTravel)
|
Kami tiba di Teras Besar tepat waktu. Lanjut ke Summit Ridge (punggungan pegunungan), di sinilah nggak kalah ngeri.
Kanan dan kiri jurang! Belum lagi, kami harus memanjat satu bongkahan batu besar. Hingga sampai di Kandang Babi, lewati jurang selebar 15 meter dan di bawahnya jurang setinggi 4.800 mdpl.
Dulu, teknik untuk melewatinya yakni tyrollean yaitu menggantung di tali. Tapi sekarang sudah ada jembatan kawat besi, yang lebih memudahkan.
Trek Pendakian Carstensz Foto: (Afif Farhan/detikTravel)
|
Saya berjalan pelan-deg-degan juga saat ada angin kencang. Melihat ke bawah, rasanya ngeri!
Setelahnya, masih ada sekitar lima jurang lagi. Salah satunya yang menurut saya paling berat, yakni jurang ketiga. Di tengah jurangnya ada batu besar untuk tempat berpijak. Tapi turunnya, pertama harus membalikan badan dulu kemudian melangkahkan kaki ke belakang. Dengan cepat, badan sudah berbalik dan memeluk batunya.
Trek Pendakian Carstensz Foto: (Afif Farhan/detikTravel)
|
Sekitar pukul 11.00, akhirnya saya mencapai Puncak Carstensz. Tangis saya pecah, sepecah-pecahnya.
Saya tersungkur, menatap lautan awan. Tidak ada kata yang keluar dari mulut ini, terus nangis sesenggukan.
“Selamat ya, sudah menang. Sudah menjadi laki-laki,” ujar Ardeshir menghibur saya.
“Fif, ngopi dulu nih,” kata Pak Haji bercanda.
Ardeshir dan Pak Haji juga ingatkan, kalau kami harus turun sebelum pukul 13.00. Sebab nanti, cuaca tidak bisa diprediksi yang mana seketika hujan, hujan es, angin kencang, sampai kabut.
Saya masih tidak bisa berkata-kata selama di atap Indonesia ini. Saya yang tidak pernah naik gunung sebelumnya, akhirnya menyentuh puncak tertinggi di Indonesia.
Trek Pendakian Carstensz Foto: (Afif Farhan/detikTravel)
|
Pendakian ke Puncak Carstensz nyatanya masih belum ada regulasi. Terakhir, Maximus Tipagau sedang menggodok aturan bersama Papua Mountaineering Association (PMA) serta para stakeholder bekerja sama demi memudahkan para pendaki. Tujuan utamanya, tentu bisa menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat untuk jadi porter atau pemandu.
Trek pendakian ke Puncak Carstensz sangat amat sulit. Mungkin saya hanya sebagian kecil yang beruntung bisa mendapat kesempatan untuk mendakinya.
Oh iya, begitu turun, saya tiba di Basecamp Danau-danau pukul 17.30. Saya langsung beristirahat, badan sudah tidak ada rasanya lagi.
Saya terbangun tepat pukul 04.00 dini hari. Ketika itu, suhunya mencapai -10 derajat Celcius. Kata-kata dingin menusuk tulang, benar-benar saya rasakan.
Saking dinginnya, saya tidak bisa tidur lagi. Saking dinginnya, mata saya jadi melek. Saking dinginnya, pegal-pegal saya tidak terasa. Saking dinginnya, saya cuma bisa memaksakan diri untuk bergerak agar badan terasa sedikit hangat.
Rata-rata suhu di Basecamp Danau-danau ada di angka 0 derajat Celcius. Sekali-kalinya hangat ada di suhu 5 derajat Celcius, itu pun anginnya tetap saja dingin.
Bagi saya, Puncak Carstensz adalah destinasi terindah yang pernah saya datangi. Malah, masih banyak titik-titik di sekitarnya yang belum terjamah dan masih jadi misteri.
Saya sempat mau mencari dingiso, semacam hewan seperti koala tapi tidak ketemu juga. Ah Papua, memang benar adanya, ‘surga kecil turun ke Bumi’.
Cerita pendakian ke Puncak Carstensz ini tersimpan dalam arsip di sini.