
Jakarta –
Potosí di Bolivia menjadi salah satu kota penghasil perak terbesar di dunia pada masa lalu. Kini, warganya melarat menegaskan kutukan Sumber Daya Alam nyata adanya.
Potosi berada di kaki Cerro de Potosí, sebuah gunung yang mendominasi kota. Gunung itu bukan sembarang gunung, namun merupakan gunung perak. Ya, perak yang sesungguhnya. Kota itu merupakan salah satu kota tertinggi di dunia, dengan ketinggian sekitar 4.090 mdpl. Itu menjadikannya salah satu kota tertinggi di dunia.
Jalan-jalannya yang sempit dan atap genteng merah serta dinding plesteran pada bangunannya mengisyaratkan masa lalu kolonial Spanyol. Potosi memang sempat dikuasai Spanyol. Kekayaan peraknya dikeruk.
Kekayaan Potosí dikenal di Eropa mulai 1545. Saat itu, sekelompok conquistadores (pasukan penakluk) dari Spanyol bermukim di sana. Warga lokal dijadikan budak di pertambangan. Nyawa tidak berharga, sampai-sampai gunung perak itu dijuluki Gunung Pemangsa Manusia.
Sementara itu, perak dan mineral lain diangkut ke Spanyol.
Hingga kemudian Potosi tidak lagi sama saat ini. Setelah dua abad eksploitasi, perak Potosí menipis. Spanyol meninggalkan Potosí secara bertahap seiring dengan menipisnya cadangan perak di Cerro Rico dan melemahnya kekuatan kolonial Spanyol. Pada 1825, Bolivia mendeklarasikan kemerdekaannya dari Spanyol, yang menandai berakhirnya kekuasaan kolonial Spanyol di Potosí.
Pada 1987, kota tersebut dideklarasikan sebagai situs warisan dunia UNESCO. Namun, seperti yang ditulis Eduardo Galeano dalam Open Veins of Latin America, yang tertinggal di sana hanyalah bayang-bayang kekayaan dari masa lalu.
“Saat ini, Potosí dianggap sebagai salah satu daerah termiskin di seluruh Bolivia,” kata Julio Vera Ayarachi, seorang pemandu wisata lokal.
Tambang perak masih ada tetapi tidak sebesar dulu. Pertambangan itu dijalankan tanpa ada perubahan infrastruktur, karena mineral-mineral tambang masih diangkut dengan sistem kereta api dari tahun 1892. Kemajuan dalam otonomi nasional juga minim.
Kini Potosi mendapatkan cuan salah satunya melalui pariwisata dinamit. Wisatawan diajak ke bekas terowongan tambang dan menyalakan dinamit. Ya, dinamit dijual bebas di Potosi yang miskin itu.
detikTravel merangkum tentang Potosi.
Berikut fakta-fakta Potosi yang dulu kaya raya, namun kini melarat:
1. Dinamit legal
Potosí adalah satu-satunya tempat di dunia yang masyarakat umum dapat membeli dinamit secara legal. Tambang-tambang di sana sangat luas dan berbahaya, dengan kondisi yang mengingatkan pada film Indiana Jones. Bahkan, menyalakan dinamit dijadikan salah satu daya tarik wisata. Turis diajak ke bekas tambang untuk meledakkan Potosi.
2. Kaya Perak
Potosí di masa lalu merupakan kota kaya raya berkat tambang perak. Perak itu berada di Cerro Rico. Gunung itu dijuluki Gunung Pemangsa Manusia, karena banyaknya penambang yang meninggal akibat kondisi kerja yang berbahaya.
3. El Tío
Para penambang di Potosí menyembah dewa bertanduk yang menyerupai iblis, yang dikenal sebagai El Tío, untuk memohon keselamatan dan keberuntungan dalam pertambangan.
4. Dikeruk Spanyol
Kekayaan Potosí dikenal di Eropa mulai 1545. Saat itu, sekelompok conquistadores (pasukan penakluk) dari Spanyol bermukim di sana. Warga lokal dijadikan budak di pertambangan. Nyawa tidak berharga, sampai-sampai gunung perak itu dijuluki Gunung Pemangsa Manusia.
5. Kutukan Sumber Daya Alam
Perak di Potosi perlahan menipis. Hingga kemudian Spanyol meninggalkan Potosi. Kini, tambang dikelola secara tradisional. Para pekerja bekerja layaknya tukang, dengan peralatan-peralatan kasar dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Pekerjaan mereka mungkin yang paling parah di dunia. Bukan hanya melelahkan, tetapi juga mematikan. Tidak ada kemajuan infrastruktur untuk mengangkut mineral-mineral tambang, transportasi itu masih menggunakan sistem kereta api dari 1892.
6. Termiskin di Bolivia
Dulu Potosi adalah kota yang sangat kaya karena perak, kini menjadi salah satu daerah termiskin di Bolivia. Itu menunjukkan bahwa kekayaan sumber daya alam tidak berhasil diterjemahkan menjadi kesejahteraan jangka panjang bagi penduduknya. Ya, Potosi sangat bergantung pada perak. Ketika cadangan perak menipis, kota ini mengalami kemunduran ekonomi yang signifikan.
Kini, Bolivia hanya mengolah sebagian kecil perak dan timah, sedangkan seng sama sekali tidak tidak diolah. Bolivia harus membatasi diri pada ekspor bahan-bahan mentah dan mengirimkannya ke perusahaan-perusahaan multinasional yang mengontrol pasar. Hanya sebagian kecil dari jutaan dolar pemasukan dari sektor ini yang disisakan untuk Bolivia.
7. Kerusakan Lingkungan
Pertambangan di Potosí telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk pencemaran merkuri dan ketidakstabilan Cerro Rico.
8. Kondisi Kerja yang Buruk
Para penambang diPotosí bekerja dalam kondisi yang sangat berbahaya dan memiliki harapan hidup yang rendah. Harapan hidup penambang di Potosí hanya 40 tahun karena seringnya kecelakaan dan penyakit paru-paru akibat menghirup silika. Anak-anak juga dipekerjakan di tambang-tambang ini.
9. Konflik Sosial
Sejarah Potosí diwarnai dengan eksploitasi dan ketidakadilan, termasuk kerja paksa pada masa kolonial. Konflik itu berlanjut hingga kini. Koperasi penambang bersaing untuk mendapatkan akses ke bagian-bagian Cerro Rico yang diyakini masih memiliki kandungan mineral berharga. Persaingan itu dapat memicu konflik, bahkan kekerasan, di antara para penambang.
Selain itu, sering terjadi konflik antara penambang dan pemerintah. Penambang merasa bahwa pemerintah tidak cukup berbuat untuk melindungi hak-hak mereka, meningkatkan kondisi kerja, dan memberikan dukungan yang memadai.
10. Pariwisata
Kini tambang-tambang di Potosí menjadi daya tarik wisata, kendati sangat berbahaya. Destinasi yang ditawarkan berupa kunjungan ke Cerro Rico, Pueblo Pulacayo, Museo Historico Minero Diego Huallpa, dan Potosi Underground Mine. Kota ini juga menyelenggarakan karnaval pertambangan setiap tahun. Merujuk Get Your Guide, eksplorasi ke Cerro Rico dijual dengan harga sekitar Rp 600 ribu.
(fem/fem)