Minggu, Juli 7


Jakarta

Jumat, 11 Desember 1992, lewat tengah malam, pintu rumah William Soeryadjaya diketuk utusan para koleganya yang tergabung dalam kelompok Prasetya Mulya. Para tamu pemilik PT Astra International itu adalah Jansen Wiraatmaja (utusan konglomerat Prajogo Pangestu), Sofyan Wanandi (Juru Bicara Prasetya Mulya), serta Presiden Direktur Astra Teddy P. Rachmat yang juga keponakan William.

Dalam pertemuan itu, mereka menyodorkan surat jual-beli Astra kepada Prajogo. Semula William menolak karena telah mengikat kesepakatan dengan Prof Soemitro Djojohadikoesoemo dari Bank Universal yang akan menangani kasus Bank Summa.

Namun tetamunya mendesak dan memaksa agar surat ditandatangani saat itu juga. Bila tidak, Summa akan dilikuidasi pemerintah esok paginya.

“Saya terpaksa menyerah. Apakah mereka pelaku, orang suruhan, pemburu rente ataukah penolong? Saya tidak tahu,” kata William dalam memoar bertajuk, “Semangat Hidup & Pasrah Kepada Tuhan” yang ditulis sastrawan Ramadhan KH.


Presiden Soeharto bersama konglomerat Liem Sio Liong, Prajogo Pangestu, William Soeryadjaya, dan Eka Tjipta Wijaya di Tapos – Bogor, 1990. Foto: Bambang Harymurti Tempo / Repro Memoar William Soeryadjaya

Buku tersebut sejatinya telah rampung pada 2003. Namun karena satu dan lain hal baru terbit dan diluncurkan pada 12 Juni 2024 lalu. Mungkin sengaja ditahan terbit karena banyak nama tokoh penting yang disebut dan dituding Om Wilem, sapaan William. Selain para konglomerat papan atas, penguasa Orde Baru Soeharto pun secara tak langsung ditudingnya. Atau karena sebab lain?

“Saya seolah buta dan tuli: saya meneken surat itu. Waktu itu saya mengira mereka memang mau menolong keluarga saya. Tidak pernah terpikir mereka akan mencaplok Astra,” kata William kepada Tempo edisi 25 Agustus 2002.

Dia pantas masygul. Sebab tiga tamunya semula menjamin penjualan saham Astra untuk mencegah Bank Summa dilikuidasi. Namun, setelah surat persetujuan jual beli dia tandatangani, dua hari kemudian Summa tetap dicabut izinnya.

Sejumlah analisis yang bermunculan kemudian terkait jatuhnya Bank Summa yang didirikan Edward Soeryadjaya, putra sulung William, adalah mengambil alih Astra. Perusahaan otomotif rintisan William yang sangat bersinar dan sudah merambah ke berbagai lini bisnis lainnya itu membuat banyak pihak ngiler.

Namun mereka tak mungkin membelinya karena itu perusahaan pribadi William Soeryadjaya. Dengan membuat Bank Summa kolaps, selain karena memang salah urus secara manajemen, juga sebagai sasaran antara untuk mencaplok Astra.

Secara perhitungan logika bisnis murni, sebetulnya William tak harus ikut cawe-cawe mengambil alih tanggung jawab atas jatuhnya Bank Summa. Namun William bukan semata ‘animal business’ yang berkhidmat pada logika bisnis semata. Nilai-nilai moral dan kemanusiaan si Om turut berperan dominan dalam penyelesaian kasus Bank Summa.

Dia tak tega bila lebih dari 2.000 pegawai Bank Summa menganggur. Begitu juga para nasabah kecil kehilangan uang simpanan mereka. Karena itu dia rela melego 108 juta lembar saham Astra untuk menutupi kewajiban tersebut.

Penyelamatan Bank Summa dan lepasnya saham Astra hanya sebagian kecil kisah perjalanan hidup William Soeryadjaya. Memoar setebal 487 halaman ini juga menbedah semangat religiusitas seorang legenda bisnis, humanis, filantropis, dan nasionalis, sekaligus catatan penting sejarah industri di Tanah Air. Total ada 23 sub judul kisah perjalanan William yang tidak pernah patah arang didera badai.

“Sejak musibah Bank Summa dan kehilangan Astra, dalam doa saya selalu memohon agar Tuhan memberi kekuatan kepada saya untuk mengatasi dampak beban berat, yang berbulan-bulan menindih kami sekeluarga,” tutur William dalam memoar yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia itu.

Langkah kesatria William Soeryadjaya itu tentu sangat langka. Tak ada duanya. Tak heran bila sastrawan yang juga penulis biografi jempolan seperti Ramadhan KH mau bersusah payah membujuknya agar berkenan bercerita dan dijadikan buku. Semata demi menjadi inspirasi generasi berikutnya.

Kisah dan semangat Om William tak cuma bisa menjadi inspirasi banyak generasi. Dia juga simbol dari jejak perjalanan seseorang yang harus dimaknai sebagai teladan demi menyongsong masa depan.

Melalui memoar ini pembaca diajak untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan yang dipegang teguh oleh William Soeryadjaya, seperti kerja keras, integritas, dan keberaniannya dalam mengambil risiko. Bagi Om Wilem, “Bisnis bukan semata bisnis dan profit tapi menyimpan makna kemanusiaan dan ketuhanan.”

Kalau pun William seperti tak pernah puas dengan bisnis yang ada dan terus melahirkan perusahaan-perusahaan baru semata-mata demi membuka lapangan pekerjaan baru.

“Ada perasaan nyaman mengalir dalam diri ketika saya bisa membuka peluang kerja bagi banyak orang. Soal menambah kekayaan, rasanya itu sudah tidak dipentingkan lagi,” tuturnya.

Terkait tuduhan yang sempat dilontarkan William kepada pihak-pihak yang dianggapnya telah berkhianat dan mencaplok Astra, buku diimbuhi catatan akhir sebagai semacam hak jawab yang ditulis wartawan investigasi Metta Dharmasaputra. Judulnya, “Dilema Kasih Tanpa Batas: The Untold Story.

(jat/hns)

Membagikan
Exit mobile version