Rabu, November 27


Jakarta

‘Sebaiknya jangan ke Canggu, macet banget, saya saja dua jam tadi di sana’ Begitu saran seorang driver mobil sewaan begitu kami tiba di Bali. Driver tadi mengatakan kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari di Canggu, tak hanya di akhir pekan saja saking banyaknya turis di sana.

Ya beberapa tempat di Bali memang lagi penuh-penuhnya oleh turis atau wisatawan mancanegara. Membludaknya turis meski bagus buat devisa, tapi jika tidak diimbangi dengan kepuasan warga lokal malah jadi bumerang yang memunculkan istilah overtourism. Kita sering mendengar isu properti penginapan yang dimiliki WNA (Warga Negara Asing) di Bali namun tidak memberikan dampak signifikan untuk masyarakat sekitar.

Overtourism sendiri adalah fenomena di mana sebuah destinasi tak lagi mampu menampung turis yang datang. Faktor meluapnya turis ini dimulai sejak pandemi COVID usai. Saat traveling dipermudah plus ditambah orang ramai-ramai posting demi konten di sosial media, jadilah beberapa destinasi favorit dibanjir turis. Tak terkecuali di Bali.


Alarm soal overtourism ini sudah disampaikan beberapa kalangan sejak tahun lalu. Berbagai media asing sering menyebut Bali mulai mengalami overtourism.

Channel News Asia beberapa waktu lalu menayangkan artikel opini tentang Bali ‘Not quite the Bali it used to be? This is what overtourism is doing to the island’. Kemudian situs traveling AS, Fodor’s kembali memasukkan Bali dalam daftar jangan dikunjungi tahun 2025. Situs ini juga pernah memasukkan Bali di list yang sama tahun 2020.

Dibandingkan dengan Eropa dan beberapa destinasi lain di ASEAN, Bali sebenarnya masih punya ruang untuk menghindari overtourism dari sisi luasan wilayah.

Luas wilayah Bali mencapai 5.636,66 km2, jumlah penduduk 4 juta dengan jumlah turis 5,2 juta tahun 2023 dan rata-rata kunjungan sekitar 500 ribu orang per bulan. Tahun 2024 sendiri sudah ada sekitar 4,5 juta turis, masih rendah dibanding tahun 2019 yang mencapai 6 jutaan.

Sementara destinasi lain yang sudah mengalami overtourism yakni Barcelona luasnya 101,9, km2 dengan jumlah penduduk 5 juta dan kunjungan turis 12,4 juta.

Kota lain yang infonya sudah memenuhi kriteria overtourism adalah Venesia. Venesia luas daerahnya 412 km² dengan jumlah penduduk sekitar 250 ribu orang dan dikunjungi 5,7 juta orang tahun 2023 lalu.

Sementara tingkat hunian hotel di Bali di angka 66 persen. Jadi jika melihat data di atas Bali masih relatif lebih sehat. Tentu bukan rahasia lagi, konsentrasi pariwisata Bali masih terpusat di bagian selatan. Kawasan Bali bagian selatan seperti Kuta, Sanur, Canggu dan Seminyak sudah penuh sesak, hingga akhirnya muncul permasalahan seperti overtourism, hingga kemacetan.

Jadi mau tidak mau, konsentrasi di Bali selatan ini harus dibuyarkan dengan membangun atau membenahi kawasan wisata di Bali Utara, Barat dan Timur yang relatif masih perawan.

Pemerintah sendiri sudah mengupayakan berbagai hal untuk pengembangan pariwisata Bali bagian utara, timur, dan barat. Mulai dari pembangunan MRT Bali atau Bali Subway Project yang sudah dimulai ground breakingnya di bandara I Gusti Ngurah Rai, sampai rencana pembangunan bandara di Bali Utara.

Namun pembangunan Bali Utara bakal tidak mudah karena secara geografis topografi di sana relatif lebih tinggi dibanding Bali Selatan yang datar. Jadi biaya untuk membangun bandara atau kawasan pariwisata bakal lebih besar meski Presiden Prabowo Subianto sudah berkomitmen membangunnya.

“Saya sudah menyampaikan bahwa saya berkomitmen saya ingin membangun North Bali International Airport,” ujar Prabowo dalam pidatonya di Restoran Bendega, Denpasar awal bulan ini.

Prabowo mengatakan rencana itu bisa mendukung pariwisata Bali utara, sehingga bisa menjadikan Bali sebagai The New Singapore atau The New Hongkong.

Sementara Utusan Khusus Presiden Bidang Pariwisata Zita Anjani menilai kritikan dari media asing itu sejatinya merupakan peluang untuk memperbaiki diri serta mengembangkan pariwisata di Bali.

“Kritik Fodor’s adalah pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Bali adalah ikon pariwisata Indonesia. Untuk menjaga reputasi ini, kita harus bersinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Kritik dan apresiasi global adalah bentuk cinta dunia kepada Bali. Mari kita jadikan ini momentum untuk berbenah,” ujarnya.

(ddn/ddn)

Membagikan
Exit mobile version