Selasa, November 5


Jakarta

Transisi energi di sektor transportasi dari internal combustion engine ke battery electric vehicles menjadi sebuah keniscayaan. Namun pakar dan akademisi mewanti-wanti supaya peralihan transisi energi ini jangan sampai menimbulkan masalah pengangguran.

Seperti diketahui, banyak suku cadang untuk kendaraan bensin yang tidak digunakan pada kendaraan listrik khususnya battery electric vehicle (BEV). Transisi energi dari ICE ke BEV menjadi hal yang menantang.

“Industri otomotif sudah cukup terbangun dengan mobil konvensional atau kita sebut internal combustion engine, bagaimana kita bisa transisi mobil listrik secara industri, ekonomi, dan dampaknya pada pengurangan gas rumah kaca, itu suatu tantangan besar,” kata Dr. Alloysius Joko Purwanto, Energy Economist dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) di Jakarta Selatan, dalam perbincangan dengan detikOto belum lama ini.


Alternatif teknologi lain seperti bioetanol, biofuel, dan hidrogen sedang diteliti untuk memperkuat transisi energi, namun tantangan terkait biaya, teknologi, dan ketersediaan bahan baku masih menjadi kendala.

“Sekali lagi kalau kita berhasil menangkap peluang, kita perlu kebijakan yang bisa diarahkan menangkap peluang. Dari sisi otomotif, kendaraan listrik itu industri akan memerlukan lebih sedikit tenaga pekerja dibandingkan sektor otomotif ICE,” tambahnya lagi.

“Jadi yang ICE ini lebih padat karya dibandingkan EV,” sambungnya lagi.

“Jadi mungkin secara industri vertikal dan lebih simple, jadi akan ada banyak surplus human resources yang kita miliki di masa mendatang. Itu saya pikir pemerintah harus menangkap kelebihan tenaga kerja itu istilahnya dialirkan ke sektor lain yang produktif,” jelasnya lagi.

Dia berharap pemerintah bisa mendorong penggunaan alternatif lain.

“Ini harus diidentifikasikan pemerintah. Maksudnya pertanian, atau sektor industri lainnya, jasa dan lain-lain. Itu dipetakan dan didukung oleh pendidikan, pendidikan kita harus mengarah ke sana, tidak bisa kita melepaskan ke mekanisme pasar saja, percaya saya akan banyak pengangguran,” tambahnya lagi.

Prof. Dr. Ir. Deendarlianto, S.T., M. Eng lebih lanjut mengungkapkan saat mendorong penggunaan energi terbarukan harus membangun industri dalam negeri.

“Ketika pengurangan emisi Co2 mendorong energi terbarukan ya. Tapi jangan sampai ketika mendorong energi terbarukan. Impor malah menjadi-jadi,” ujar Deen.

Green jobs merujuk pada pekerjaan yang mendukung dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, dan pengurangan dampak negatif terhadap ekosistem.

Pekerjaan ini bertujuan untuk meminimalkan jejak karbon, mengurangi polusi, dan mendukung pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Green jobs melibatkan bidang-bidang seperti energi terbarukan, efisiensi energi, manajemen limbah, transportasi berkelanjutan, dan pertanian berkelanjutan.

“Bisa saja ketika bicara biodiesel, dimulai dari resources, kemudian juga cleaning, kemudian pressing, sampai kepada menghasilkan sumber daya energinya, standarisasi, testing kalau kita bisa membuat pohon industrinya. Banyak sekali bisa dibangun,” tambahnya lagi.

Green job, green economy bisa bangun,” sambung dia.

“Kita bisa mendomestikan rantai pasok dari segala hal energi bersih tadi. Kita beruntung punya nikel yang banyak tapi jangan lupa juga. Kendaraan listrik, semi konduktor, sudah diambil duluan sama Malaysia, Vietnam dan Singapura. Hati-hati,” jelasnya lagi.

(riar/din)

Membagikan
Exit mobile version