Senin, Oktober 7


Denpasar

Walhi Bali prihatin terkait maraknya alih fungsi lahan di Bali. Menurut mereka alih fungsi lahan lebih banyak dampak negatifnya buat lingkungan.

Alih fungsi lahan yang semakin masif di Bali menimbulkan berbagai dampak negatif yang mengancam kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Dalam beberapa tahun terakhir, alih fungsi lahan di Bali meningkat tajam, seiring dengan pertumbuhan sektor pariwisata dan kebutuhan akan infrastruktur pendukungnya.


Made Krisna Dinata, Direktur Walhi Bali, menuturkan bahwa di Pulau Dewata sudah sangat masif terjadi alih fungsi lahan. Salah satu yang berkontribusi terhadap alih fungsi lahan adalah pembangunan akomodasi pariwisata.

Walhi Bali menyoroti dampak negatif alih fungsi lahan terhadap ekologi. Menurut Krisna, saat ini jumlah hutan di Bali kurang dari 30% jumlah wilayahnya. Hal ini tentu akan berdampak pada keberlangsungan lingkungan hidup.

“Alih fungsi lahan dan perubahan bentang alam utamanya berdampak pada ekologi. Laporan terakhir dari DKLH Bali kurang dari 30% wilayah Bali. Tentu akan berdampak terhadap keberlangsungan lingkungan hidup,” paparnya.

Dalam temuan Walhi Bali, Jalan Tol Gilimanuk – Mengwi yang akan dibangun dengan panjang sekitar 96 kilometer. Dari pembangunan ini, akan ada 98 titik subak yang tergerus bahkan hilang.

Apabila alih fungsi lahan dan konversi lahan semakin masif dilakukan, pengaruh paling signifikan adalah Pulau Dewata kerap dilanda bencana lingkungan, salah satunya adalah banjir.

“Subak menjadi salah satu budaya sekaligus salah satu bentuk pengaturan tata kelola air yang mampu bersinergi dengan alam. Subak mampu menjadi tempat penampungan air alami saat terjadi siklus alam. Apabila terus menerus terjadi konversi lahan, Bali akan selalu ditimpa bencana lingkungan, seperti banjir,” tutur Krisna.

“Semakin terkonversi alam ini, hal yang paling nyata kita lihat adalah bencana ekologis. Bahkan dunia sudah tidak mengenal pemanasan global, melainkan pendidihan global. Ini diakselerasi oleh tindakan seperti alih fungsi lahan,” imbuhnya.

Sejak 2022, Walhi Bali melakukan pemantauan terhadap kondisi alam Bali. Menurut Krisna, Bali sudah mulai diterjang bencana, bahkan sudah terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota. Tahun 2023, saat musim kemarau panjang, kerap terjadi kebakaran di beberapa TPA.

“Penyebab terbakar ini, pertama karena alih fungsi lahan menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim dan panas berkepanjangan. Ini akan mengakselerasi sampah di TPA menjadi terbakar, karena pengelolaan sampah dengan sistem open dumping,” tutur Krisna.

“Itu hal nyata yang bisa kita lihat terkait kerusakan lingkungan akibat tata kelola lingkungan yang tidak benar dan kurang tegas dalam regulasi,” imbuh Krisna.

Dilihat berdasarkan tren, Bali yang kerap overbuild dan overtourim membuat Bali diterpa beberapa bencana alam, yang sumber utamanya adalah alih fungsi lahan.

Menurut Krisna, jika menilik lebih jauh terhadap kebijakan proteksi atau tata kelola lingkungan, Bali masih kurang tegas. Pemerintah diharapkan memiliki tindakan konkrit untuk membenahi tata kelola lingkungan hidup.

Krisna menyarankan untuk membatasi tindakan pembangunan dan tidak mengeluarkan izin untuk pembangunan yang tak sesuai aturan tata ruang di Bali. Pemerintah harus memperketat dan memastikan setiap proyek pembangunan memiliki kajian dampak lingkungan yang komprehensif.

Simak Video “Penampakan Spanduk Raksasa ‘Darurat Lingkungan Hidup’ di Flyover Bandung
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version