![](https://i2.wp.com/awsimages.detik.net.id/api/wm/2024/05/31/lestari-moerdijat-2_169.jpeg?wid=54&w=650&v=1&t=jpeg&w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menilai diperlukan gerak bersama untuk mewujudkan ekonomi sirkular untuk menekan dampak pemanfaatan fast fashion di masyarakat. Ia mengatakan dampak dari fast fashion berpotensi menghasilkan limbah pakaian yang dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan.
“Fenomena fast fashion di masyarakat yang memanfaatkan pakaian dalam rentang waktu yang pendek berpotensi menghasilkan limbah yang berdampak buruk pada lingkungan,” kata Lestari dalam keterangannya, Rabu (17/7/2024).
Hal itu diungkap perempuan yang akrab disapa Rerie tersebut dalam acara Fast Fashion dan Dampaknya pada Lingkungan yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, hari ini.
Menurut Rerie, limbah fashion memicu polusi air, tanah, dan penghasil emisi gas rumah kaca yang berpengaruh pada perubahan iklim.
“Di satu sisi, industri ini berupaya tumbuh, di sisi lain terdapat tuntutan adaptasi pada ancaman perubahan iklim akibat pencemaran lingkungan,” tambah Rerie.
Ia berharap para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat memiliki kepedulian yang sama terhadap ancaman krisis lingkungan akibat fast fashion.
“Kita harus menyadari bahwa perilaku merusak yang dibiarkan untuk mengikuti tren dapat merusak ekosistem lingkungan hidup, tempat kita menjalani keseharian,” tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu.
Perencana pada Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Asri Hadiyani mengungkapkan, di dunia saat ini berkembang isu lingkungan yang besar seperti perubahan iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Menurut Asri, penggunaan material yang tidak berkelanjutan akan berkontribusi pada 70% emisi gas rumah kaca dan 90% potensi kehilangan aneka keragaman hayati global.
Dia mengungkapkan, manusia cenderung membuang pakaian rata-rata setelah tujuh kali pakai. Selain itu, tambah dia, tiga dari lima pakaian bekas pakai berakhir di tempat pembuangan akhir.
Saat ini Indonesia masuk 10 besar negara penghasil tekstil terbesar di dunia. Dengan kondisi tersebut, tambah Asri, harus diterapkan praktik ekonomi sirkular dengan mendorong penggunaan material dan sumber bahan baku yang lebih efisien.
Pemanfaatan barang reconsume agar masa pakai yang lebih panjang harus diupayakan. Tantangan yang dihadapi saat ini, ujar Astri, setelah masa pakainya habis, pakaian atau produk tekstil lainnya akan dijadikan apa.
Penyediaan drop box untuk pengumpulan pakaian bekas pakai, tambah dia, merupakan upaya yang bisa diwujudkan dengan dukungan banyak pihak, seperti produsen tekstil yang menghasilkan pakaian.
Pemerintah saat ini juga sudah memiliki peta jalan pengembangan ekonomi sirkular pada tekstil.
Chief Brand Officer Akademi Femina, Petty S Fatimah menilai berpakaian itu merupakan bagian dari gaya hidup atau cara hidup yang kita pilih pada keseharian.
Gaya hidup, tegas Petty, sangat mempengaruhi pilihan-pilihan seseorang dalam mengonsumsi kebutuhan sehari-hari mereka, termasuk soal pakaian.
“Apakah masyarakat memahami pilihan pola konsumsi pakaiannya dapat mempengaruhi lingkungan? ” ujar Petty.
Ia menilai masyarakat harus memiliki kesadaran dampak yang akan ditimbulkan terkait pilihannya. Masyarakat, juga harus diberi pemahaman terkait cost per used. Fenomena fast fashion yang mengadopsi tren itu merupakan langkah yang kurang bijaksana.
Diakuinya, thrifting merupakan bagian dari ekonomi sirkular. Namun, tegas Petty, thrifting yang terjadi di Indonesia saat ini sudah melampaui batas dan mayoritas produknya sampah.
“Fenomena fast fashion akan selalu ada sehingga harus dikelola dengan lebih bertanggung jawab,” jelasnya.
Simak juga Video ‘Gaji Nggak Naik-naik Bikin Daya Beli Lemah’:
[Gambas:Video 20detik]