Sabtu, November 23


Jakarta

Wakil Ketua Komisi XIII Andreas Hugo Pareira bicara perlu adanya kejelasan dasar hukum terkait pengembalian terpidana mati kasus narkotika Mary Jane Veloso ke Filipina. Ia mendorong pemerintah memberikan penjelasan kepada rakyat Indonesia perihal kasus tersebut.

“Pemerintah dalam hal ini perlu menjelaskan dengan mekanisme dan prosedur hukum seperti apa Mary Jane ini diserahkan ke pemerintah Filipina,” kata Andreas dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).

“Memang benar dia (Mary Jane) warga negara Filipina, tetapi dia melakukan pelanggaran hukum di otoritas wilayah negara Indonesia dan sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap,” lanjutnya.


Andreas pun memberikan contoh kasus serupa, yaitu Schapelle Corby, seorang warga Australia yang meminta dipulangkan dan menjalani sisa hukuman di negaranya. Saat itu pemerintah Indonesia menolak dengan alasan ketiadaan Undang-Undang Pemindahan Narapidana.

Pemerintah juga beralasan tidak bisa memindahkan Corby ke Australia untuk menjalani sisa hukuman karena tindak pidana yang dilakukannya merupakan kejahatan berat yakni berkaitan dengan narkotika, sama seperti dengan Mary Jane.

Andreas lantas mempertanyakan perjanjian untuk ekstradisi. Menurutnya, sejauh ini belum ada perjanjian tersebut.

“Dan kalaupun (Mary Jane) dikirim ke Filipina, apakah kita sudah punya perjanjian ekstradisi dengan Filipina? Setahu saya belum,” tegas Andreas.

“Kalau belum, lantas atas dasar hukum apa pengembalian Mary Jane ini. Hal tersebut harus dijelaskan karena menyangkut kedaulatan dan kewibawaan hukum di negara kita,” sambungnya.

Andreas menekankan pentingnya agar Indonesia tetap konsisten sebagai negara yang berdaulat atas hukum. Jika tidak, Andreas khawatir Indonesia akan kehilangan kredibilitasnya di mata dunia.

“Dan pastinya kita akan dianggap mengabaikan keadilan jika tidak konsisten dan mengeluarkan kebijakan tanpa kejelasan hukum,” sebutnya.

“Ini situasi yang penting bagi kita semua. Sebagai anggota legislatif dan bagian dari masyarakat, kami mendorong pemerintah untuk tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku,” imbuh Andreas.

Menurutnya. ketegasan pemerintah terhadap keadilan hukum akan membuat Indonesia tetap dihormati sebagai negara hukum yang kuat dan berdaulat. Andreas meminta pemerintah memberikan penjelasan yang komprehensif dan didasari landasan hukum jelas terkait kasus Mary Jane.

“Kami ingin memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak melanggar hukum yang telah ada. Jangan sampai karena kepentingan diplomatik lalu memunculkan kekhawatiran tentang keberadaan maupun ketegasan sistem hukum dan keadilan di Indonesia,” tutur Andreas

Dasar Hukum Mary Jane Dipulangkan

Sebelumnya, terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso, akan dipulangkan ke negara asalnya. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan kebijakan itu diatur dalam kerangka perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat dalam bentuk mutual legal assistance atau MLA.

Yusril mengatakan saat ini Indonesia memang tidak memiliki undang-undang khusus yang mengatur pemindahan narapidana ke negara asal. Namun, Yusril menyebut kebijakan itu bisa diambil melalui kesepakatan MLA hingga diskresi dari presiden.

“Memang, belum ada aturan undang-undang yang mengatur tentang transfer of prisoner sampai sekarang. Juga belum ada yang mengatur tentang exchange of prisoner. Tapi kita memiliki banyak perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat yang disebut dengan perjanjian MLA, yaitu mutual legal assistance in criminal matter, atau bantuan hukum, kerja sama hukum timbal balik dalam kasus kriminal dengan negara lain”, kata Yusril dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (22/11).

Yusril memaparkan tiap presiden di belahan dunia manapun berwenang dalam merumuskan satu kebijakan hingga mengambil keputusan yang didasari atas nilai-nilai kemanusiaan hingga menjaga hubungan baik kedua negara. Keputusan itu, kata Yusril, kadang belum secara spesifik diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.

“Jadi walaupun tidak juga didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan, tapi berdasarkan kepada MLA dan juga berdasarkan kepada kesepakatan para pihak dan juga diskresi dari presiden untuk mengambil satu keputusan, satu kebijakan. Ya karena undang-undang tidak mengatur, menyuruh tidak, melarang juga tidak, maka presiden berwenang untuk mengambil satu diskresi terhadap persoalan ini,” kata Yusril.

Dia lalu mencontohkan kerja sama bidang hukum yang pernah terjadi melibatkan pemerintah Indonesia dan Australia. Kala itu pemerintah Australia melakukan penyitaan aset dari pemilik Bank Harapan Sentosa (HBS), Hendra Rahardja, dalam kasus penyalahgunaan kredit likuiditas Bank Indonesia. Lewat metode MLA, penyitaan aset itu dilakukan melalui putusan pengadilan di Indonesia.

“Pada waktu saya jadi Menteri Kehakiman, saya bertemu Jaksa Agung Australia, Daryll Williams, dan mencapai satu kesepakatan: Pemerintah Australia mengakui putusan Pengadilan Jakarta Pusat dan mengeksekusi putusan pengadilan Indonesia tersebut di Australia. Dan beberapa aset harta dari Hendra Rahardja itu kemudian disita oleh pemerintah Australia,” ujar Yusril.

“Jadi sudah ada preseden, walaupun tidak dalam konteks transfer of prisoner, tapi dalam hal melaksanakan putusan pengadilan Indonesia di negara lain, sudah ada presedennya di masa yang lalu,” kata Yusril.

(aik/aud)

Membagikan
Exit mobile version