Kamis, Oktober 3


Jakarta

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen diterapkan paling lambat mulai 1 Januari 2025. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) khawatir peraturan itu membuat daya beli turun.

Ketua Umum GIPI, Hariyadi Sukamdani, berpendapat pemerintah seharusnya lebih berfokus menciptakan lapangan pekerjaan untuk menciptakan arus pendapatan negara yang lebih banyak. Bukan menaikkan PPN.

“Nah, itu kan pemerintah yang baru yang akan ada putusan. Tapi memang dari awal kami selalu melihat bahwa yang paling penting itu sebenarnya jangan bermain di fiskal tapi bermain di bagaimana terjadi penciptaan lapangan kerja yang jumlahnya masif,” kata Hariyadi selepas pembukaan acara Wonderful Indonesia Tourism Fair (WITF) 2024, Jakarta, Rabu (2/10/2024).


“Nah ini kan kita ngomongin fiskal tapi kenyataannya daya beli turun. Daya beli turun mereka orang nggak ada kerjaan dong. Berarti fokusnya kalau menurut saya ya, bukan di situ, nguber-nguber di fiskal. Kalau pertumbuhan jalan, otomatis pajaknya akan naik, gitu loh,” dia menambahkan.

Menurutnya, sektor pariwisata bisa menjadi salah satu katalis dalam pertumbuhan ekonomi. Sebab, pariwisatalah yang justru berdampak langsung terhadap perekonomian masyarakat.

“Ini kan kita jadi lucu ya. Kenyataan apapun alasannya daya beli turun tidak mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi itu ternyata bisa menyejahterakan masyarakat secara luas, kan gitu kan. Itu harus kita lihat, harus kita akui,” kata dia.

“Makanya tadi saya bilang bolak balik kenapa pariwisata ini kita dorong ‘ayo dong pariwisata jadi prioritas’. Karena begitu dia jadi, masyarakat punya pekerjaan karena pariwisata naik mereka akan langsung menerima uangnya kan. Nah ini impact-nya apa ke pertumbuhan ekonomi ke daya beli,” dia menambahkan.

Mengutip situs resmi DPR rencana kenaikan tarif PPN tersebut tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dikutip dari situs resmi Kementerian Keuangan, PPN adalah pemungutan atas pajak konsumsi yang dibayar sendiri sehubungan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).

Saat ini, tarif PPN di Indonesia adalah sebelas persen. Besaran PPN 11 persen itu berlaku sejak 1 April 2022. Informasi tersebut tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada 29 Oktober 2021 lalu oleh Presiden Joko Widodo.

Nah, dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pasal 7 ayat (3), pemerintah berwenang mengubah tarif PPN paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

Dikutip dari situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), rencana kenaikan tarif PPN ini adalah bagian dari upaya reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan.

Pada 11 Mei 2024, Menteri Koordinator Perekonomian, yang saat itu dijabat oleh Airlangga Hartarto, mengatakan strategi pemerintah ke depan bukanlah mengerek PPN, tetapi penghasilan pajak.

“Pertama, strategi ke depan adalah bukan kerek PPN, tapi kerek penghasilan pajak,” terangnya saat ditemui di Kolese Kanisius, Sabtu (11/5/2024).

Dengan diterapkannya sistem pajak yang canggih, pendapatan dari pajak diharapkan dapat lebih optimal. Untuk mengoptimalkan sistem pajak ini, pemerintah sedang menggarap Core Tax Administration System (CTAS).

“Diharapkan dengan implementasi dari sistem yang lebih baik, tentu kalau di Ditjen Pajak ada implementasi dari core tax kita harapkan itu bisa maksimal,” kata Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Maju.

(wkn/fem)

Membagikan
Exit mobile version