Jakarta –
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka peluang untuk membeli minyak mentah Rusia usai Indonesia berhasil bergabung sebagai salah satu anggota BRICS.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, hal tersebut merupakan peluang yang baik. Apalagi, minyak mentah yang dijual Rusia relatif lebih murah dibanding negara-negara lain.
“Jadi menurut saya itu sangat positif kalau Indonesia bisa beli minyak dari Rusia tadi,” kata Fahmy saat dihubungi detikcom, Minggu (12/1/2025).
Menurutnya, pembelian minyak mentah Rusia mampu menambal kebutuhan Indonesia. Pasalnya, produksi minyak dalam negeri tidak begitu optimal. Di sisi lain, cadangan minyak Indonesia juga terus menipis.
“Impor Indonesia terhadap minyak mentah maupun BBM, itu kan selalu meningkat dan sangat besar sekali. Karena kebutuhan yang besar tadi, maka perlu diversifikasi dalam pembelian minyak tadi, tidak hanya negara-negara timur tengah tetapi dari Rusia. Apalagi Rusia sering memberikan diskon, artinya lebih murah dibanding negara-negara lain,” jelasnya.
Diketahui, pemerintah sendiri menargetkan lifting minyak sebesar 605.000 barrel oil per day (BOPD). Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga menargetkan lifting gas bumi sebesar 1,005 juta barel atau setara minyak per hari yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Fahmy sendiri meragukan target tersebut dapat tercapai di tahun ini. Hal itu ia sebut mengacu pada tren penurunan lifting minyak dan gas dalam kurung waktu beberapa tahun terakhir.
“(Target lifting minyak) Itu menurut saya suatu hal yang mustahil tadi. Kalau melihat data historis yang ada, itu kan produksi Indonesia cenderung turun-turun terus. Dan itu kenapa terjadi karena cadangan minyak kita sudah akan habis. Artinya tidak bisa diharapkan lagi,” terang Fahmy.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, Indonesia bisa melakukan impor minyak mentah bahkan sebelum bergabung dengan BRICS.
“Sebelum menjadi anggota BRICS pun Indonesia bisa saja membeli minyak dari Rusia,” kata Fabby kepada detikcom.
Apalagi, kata Fabby, posisi Rusia yang diembargo negara-negara barat berpengaruh terhadap harga minyak mentah yang dijualnya. Ia mengatakan, sebelumnya juga PT Pertamina (Persero) sempat berencana membeli minyak dari Rusia yang kemudian urung lantaran mempertimbangkan sanksi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.
Fabby mengatakan, kapasitas kilang minyak Indonesia 1 juta BOPD dengan impor minyak mentah (growth) hampir separuh dari kebutuhan kilang atau sekitar 400.000 hingga 500.000 BOPD. Sementara saat ini, Indonesia sendiri diketahui telah mengimpor minyak mentah dari sejumlah negara tanpa konsekuensi sanksi dari AS dan Eropa.
Karenanya, Fabby menilai tidak ada urgensinya untuk melakukan impor minyak mentah dari Rusia. Menurutnya, pemerintah perlu menghitung kembali Cost Benefit Analysis (CBA) dari impor minyak dari Rusia.
“Perlu dipertimbangkan cost benefit analysis-nya. Karena tidak ada urgensi hari ini untuk mengimpor dari Rusia. Kecuali, misalkan ada kondisi di mana kita tidak bisa impor minyak dari negara-negara tertentu karena ada gangguan geopolitik, transportasi, kan kita bisa saja. Artinya dalam rangka memastikan pasokan energi pemerintah memutuskan untuk (impor dari) negara lain,” tutupnya.
Diberitakan sebelumnya, Indonesia resmi bergabung masuk blok ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa). Sejalan dengan itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membuka peluang Indonesia mengimpor minyak dari Rusia.
Bahlil mengatakan Indonesia merupakan negara yang menganut azas politik bebas aktif. Hal ini berarti Indonesia bisa menjalin kerja sama dengan negara mana saja selama tidak melanggar aturan.
“Ketika kita bangun dengan BRICS, dan kemudian ada peluang untuk kita mendapatkan minyak dari Rusia, selama itu sesuai aturan, dan tidak ada persoalan kenapa tidak,” kata Bahlil saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).
(acd/acd)