Kamis, Desember 26

Jakarta

Di gurun yang sangat gersang di Uni Emirat Arab (UEA), air sangat langka namun sinar Matahari berlimpah. Negara kaya minyak ini memanfaatkannya untuk menghadirkan hujan buatan.

Mereka sebelumnya sudah menggunakan sejumlah drone dan pesawat penyebar awan untuk meringankan krisis air di negara mereka. Kemudian, ilmuwan baru-baru ini mengusulkan cara lain untuk meningkatkan curah hujan di wilayah tersebut, yakni dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) raksasa.

Dalam sebuah studi baru, para peneliti di University of Hohenheim di Jerman menunjukkan bahwa rangkaian panel surya yang luas berpotensi menimbulkan awan hujan di atas UEA dan membawa air yang sangat dibutuhkan bagi puluhan ribu orang.


Logika di balik gagasan ini adalah sebagai berikut: panel fotovoltaik surya berwarna gelap menyerap panas, dan jika skalanya cukup besar, dapat menciptakan ‘pulau bersuhu panas buatan’ di wilayah setempat. Dengan bantuan angin laut UEA, kehangatan dapat terbawa ke atas melalui konveksi dan mendorong pembentukan awan di langit.

Studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Earth System Dynamics ini menjelaskan, dengan menggunakan model komputer, tim menjalankan beberapa simulasi untuk melihat seberapa besar PLTS yang dibutuhkan untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

Pemodelan tersebut menunjukkan bahwa panel surya hitam seluas 10 kilometer persegi akan berdampak ‘sangat kecil’ terhadap curah hujan. Namun, jika lebih dari itu, PLTS yang lebih besar berpotensi menghasilkan hujan lebat.

Lahan panel surya seluas 20 kilometer persegi diperkirakan akan menghasilkan sekitar 570.000 meter kubik hujan setiap hari. Jika kondisi ini bisa terjadi 10 hari dalam setahun saja, hal ini dapat menyediakan cukup air untuk lebih dari 31 ribu orang setiap tahunnya.

Sedangkan untuk ladang tenaga surya seluas 50 kilometer persegi, diperkirakan akan menghasilkan cukup hujan untuk menyediakan air bagi 125 ribu orang tambahan setiap tahunnya.

“Beberapa PLTS kini sudah mencapai ukuran yang tepat. Mungkin bukan fiksi ilmiah yang bisa menghasilkan efek seperti ini,” kata Oliver Branch, penulis utama studi dan ilmuwan iklim di University of Hohenheim, dikutip dari IFL Science.

Ini adalah solusi yang sangat kreatif, namun mungkin tidak berhasil untuk semua wilayah di dunia yang menghadapi kekurangan air. Studi lain pada tahun 2020 menyelidiki gagasan serupa untuk Gurun Sahara di Afrika.

Meskipun hal ini akan meningkatkan curah hujan di wilayah setempat, hal ini akan mempunyai dampak besar di seluruh dunia, menyebabkan kekeringan dan degradasi hutan di Amazon, serta peningkatan suhu dan hilangnya es laut di Arktik.

Proposal terbaru ini sebenarnya merupakan bentuk geoengineering, yaitu manipulasi yang disengaja terhadap proses alami Bumi untuk mengubah kondisi iklim dan cuaca. Banyak yang percaya bahwa campur tangan semacam ini bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi krisis iklim di Bumi, namun di sisi lain ini adalah bisnis yang berisiko.

Seperti yang ditunjukkan oleh studi Sahara tahun 2020, campur tangan terhadap sistem yang kompleks, seperti iklim Bumi, dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak terduga dan efek riak yang membawa bencana.

Studi terbaru mengenai UEA ini tidak mengidentifikasi dampak serupa di luar wilayah sekitarnya, meskipun hal ini tentunya perlu diwaspadai oleh para ilmuwan dalam penelitian di masa depan.

Simak Video “Uni Emirat Arab Bakal Buka Pabrik Alkohol Legal Pertama
[Gambas:Video 20detik]

(rns/rns)

Membagikan
Exit mobile version