Jumat, Februari 21


Jakarta

Penurunan emisi karbon bisa disesuaikan dengan memanfaatkan sumber daya energi yang potensial. Salah satunya melalui bioetanol. Namun seberapa cocok mesin kendaraan dengan bioetanol?

Dari sektor transportasi, penggunaan biofuel berupa bioetanol menjadi opsi yang bisa menawarkan banyak keuntungan. Transisi ini lebih mudah lantaran tidak perlu memodifikasi mesin pada kendaraan bermotor.

Ronny Purwadi, Ahli Proses Konversi Biomassa Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebutkan mobil masih aman menenggak bioetanol E10 tanpa ubahan spesifikasi.


“Bioetanol itu sebenarnya bahan bakar oksigenat, jadi mengandung oksigen yang bisa memberikan kebaikan, karena pada saat pembakaran kita juga butuh oksigen, jadi oksigennya itu digunakan untuk pembakaran, tetapi tidak perlu banyak,” kata Ronny dalam talkshow “Carbon Neutrality (CN) Mobility Event di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, belum lama ini.

“Angka oktannya cukup tinggi 104 sampai 108, sehingga kalau kita menggunakan bioetanol cukup banyak bisa menaikkan oktan,” jelasnya.

Dia melanjutkan bioetanol menjadi pilihan untuk menuju emisi karbon bagi mobil internal combustion engine. Etanol punya oktan lebih tinggi, walhasil emisi gas buangnya lebih bersih.

“Nilai kalornya lebih kecil kira-kira 2 per 3 dari nilai kalor bensin,” ungkap dia.

“Bioetanol bisa dicampur hingga 10 persen ke dalam bensin atau E10 tanpa modifikasi mesin kendaraan,” sambungnya lagi.

“Kalau lebih boleh nggak? boleh, belinya mobil Flexy Fuel. Di Brazil itu mereka menggunakan etanol hydros, artinya menggunakan etanol yang ada airnya,” jelas dia.

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi, Kementerian ESDM, Edi Wibowo memaparkan saat ini terdapat 13 produsen bioetanol dengan kapasitas produksi lebih dari 361 ribu kilo liter per tahun, dengan kapasitas Fuel Grade Ethanol (FGE) sebanyak 63 ribu kiloliter per tahun.

“2025 sampai 2030, saat ini E5 nya ada tambahan dua pabrik di 2026, dengan memaksimalkan existing yang sudah ada saat ini. Kita harapkan 2026 bisa 5 persen (pencampuran bioetanol), kemudian meningkat sekitar 10 persen di tahun 2029,” kata Edi dalam kesempatan yang sama.

Dia melanjutkan pada 2030, campuran bensin dengan bioetanol bisa lebih banyak terserap.

“Diharapkan tahun 2030 kita bisa menyalurkan bioetanol untuk dicampur dengan gasoline itu 1,2 juta kl (kiloliter),” jelasnya lagi.

Tantangan yang dihadapi saat ini adalah feedstock atau bahan baku untuk membuat bioetanol FGE.

Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang terbuat dari karbohidrat (gula) seperti sagu, jagung, gandum, tebu, kentang, dan ubi-ubian, seperti uji jalar dan ubi kayu.

Indonesia punya potensi besar jika bisa menguasai bioetanol generasi kedua yang bisa didapat dari limbah biomassa, seperti tandan kosong kelapa sawit.

“Kita membutuhkan lebih banyak lagi bahan baku untuk memproduksi bioetanol,” kata Oki Muraza, Senior Vice President (SVP) Technology Innovation Pertamina dalam kesempatan yang sama.

“Jadi bioetanol bisa diproduksi dengan berbagai macam feedstock,” tambahnya lagi.

Izmirta Rachman, Ketua Asosisasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia (APSENDO) memaparkan penggunaan bioetanol 2024 baru mencapai 373 kiloliter.

Angka ini didapat dari suplai PT Enero mengolah tetes tebu atau molasses dari pabrik gula jadi bioetanol. Kemudian dicampur dengan bensin dari Pertamina.

“Dalam konteks feedstock ini yang menjadi kendala, kita punya potensi di tahun 2024 itu menghasilkan 1,6 juta ton. Kalau ini dijadikan etanol semua, 409 ribu kiloliter siap kita distribusikan, tapi sayang realisasinya baru 373 kiloliter per 2024,” kata Rachman.

“Ini yang saya minta tolong, molasses kita rata-rata 1,6 juta, dari 2010 sampai 2024 itu sekitar 4,93 persen dari total tebu itu kita siap untuk jadikan etanol,” kata Rachman.

“Ini yang jadi masalah, molasses kita berangkat ke negara lain, di ekspor. 2023 819 juta atau sekitar 50 persen dari 1,6 juta tadi diekspor. Kenapa? karena Indonesia tidak membuat tata niaga mengenai molasses yang diprioritaskan untuk hiliriasi,” ujar dia.

Pertamina juga terus melakukan penelitian terkait penggunaan bahan baku untuk bioetanol generasi kedua.

“Tandan kosong sawit, ini juga banyak di Indonesia. Basah 50 juta ton, keringnya mungkin sekitar 23 juta ton,” kata Oki.

“Sorgum, kami ada penelitian bersama Universitas Mataram, hasilnya cukup menarik dari 1 hektar kita akan mendapatkan sekitar 4.000 liter. Ini kita akan scale up lagi, untuk skala yang lebih besar,” jelas dia.

“Kemudian nypa fruticans, ini mungkin PR bagi teman-teman ITB di mekanisasi, karena kita harus berusaha mendapatkan di rawa-rawa,” tambahnya lagi.

(riar/dry)

Membagikan
Exit mobile version