Rabu, Januari 8


Jakarta

Pemagaran laut di pesisir Kabupaten Tangerang sepanjang 30,16 km mengundang perhatian pemerintah, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten masih terus menyelidiki terkait masalah tersebut karena dinilai mengganggu aktivitas nelayan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti mengatakan pemagaran tersebut terbentang dari Desa Muncung hingga Desa Paku Haji di wilayah perairan Kabupaten Tangerang. Eli menjelaskan struktur pagar laut terbuat dari bambu atau cerucuk dengan ketinggian rata-rata 6 meter. Di atasnya, dipasang anyaman bambu, paranet dan juga ada dikasih pemberat, berupa karung berisi pasir.

“Panjang 30,16 km ini meliputi 6 kecamatan, tiga desa di Kecamatan Kronjo, kemudian tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri, dan tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, dan dua desa di Kecamatan Teluknaga,” kata Eli dalam Diskusi Publik, di Gedung Mina Bahari IV, Jakarta, Selasa (7/1/2025).


Di sepanjang kawasan ini, 6 kecamatan dengan 16 desa, Eli menyebut ada masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan sekitar 3.888 nelayan dan ada 502 pembudidaya yang tersebar. Eli pun menerangkan kronologi pemagaran tersebut terjadi.

Mulanya, Eli mendapatkan laporan dari masyarakat terkait pembangunan pagar di pesisir Tangerang pada 14 Agustus lalu. Lima hari kemudian, dia bersama dengan timnya terjun langsung meninjau ke lokasi. Saat itu, dia bilang ada indikasi pemagaran laut sepanjang 7 km.

Pada 4-5 September 2024, tim gabungan DKP bersama dengan Polisi Khusus Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) kembali mendatangi lokasi. Tim gabungan ini terpecah menjadi dua tim, yakni tim pertama untuk menilik pemagaran di pesisir laut dan tim kedua berdiskusi dengan pemerintah setempat.

“Jadi saat tanggal 5 September ini kami membagi dua tim, satu tim langsung terjun ke lokasi dan satu tim lagi berkoordinasi dengan Pak Camat dan Kepala Desa Marga Mulia serta Kepala Desa Mauk. Saat itu informasi yang kami dapatkan bahwa tidak ada rekomendasi atau izin dari Camat maupun dari desa dan kemudian belum ada keluhan dari masyarakat terkait pemanggaran tersebut,” imbuh Eli.

Eli menambahkan pihaknya telah melakukan investigasi sebanyak 4 kali dengan langsung terjun ke lapangan. Bahkan dia juga menggandeng instansi lain, seperti Pangkalan TNI AL Banten, Polairud Polresta Tangerang, Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Provinsi Banten, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Banten, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Banten, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pangkalan Jakarta, Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Pada saat itu, dia meminta agar aktivitas tersebut dihentikan.

“Terakhir kami melakukan inspeksi gabungan bersama-sama dengan TNI Angkatan Laut Polairud, kemudian dari PSDKP, dari PUPR, dari SATPOL PP, kemudian dari Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang, kami bersama-sama melaksanakan investigasi disana dan panjang lautnya sudah mencapai 13,12 km, terakhir malah sudah 30 km,” jelas Eli.

Sementara itu, Ketua Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) Rasman Manafi mengatakan pemanfaatan ruang laut membutuhkan sejumlah izin, seperti izin lingkungan atau izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Apabila izin tersebut tidak ada, Rasman menyebut disinyalir maladministrasi.

Rasman memyebut tuntutan masyarakat terkait kasus tersebut sudah banyak, mulai dari aspek lingkungan hingga akses nelayan. Dia juga menjelaskan hal tersebut dapat merugikan nelayan.

“Tuntutan masyarakat, kasusnya ini saya kira sudah sangat banyak, keluhan masyarakat, Bisa kita lihat lingkungan, akses publik, keamanan dan keselamatan karena tidak ada alur yang ditetapkan. Bisa jadi nelayan akan putar sangat jauh. Saya dengar saat ini bahkan dari diskusi awal, sudah mencapai hampir 33 km. Di mana orang mau masuk nelayan kita dengan 33 km itu?” kata Rusman.

Setidaknya dalam pandangan HAPPI, Rusman menyebut ada indikasi ketidaksesuaian dengan peraturan terjadi. Dia menilai hal tersebut melanggar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 31/2021 tentang Tata Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Dan ini menurut kami, di HAPI, kalau ini benar-benar sampai sejauh ini, hemat kami, maka jatuhnya sudah harus terpadu, tidak hanya soal tata ruang. Bisa jadi sudah ada pencemaran lingkungan, sudah ada penutupan akses publik atau nelayan kita untuk memanfaatkan sumber daya alam di negeri ini,” imbuh dia.

Lihat juga Video ‘Pantai Candidasa Tercemar Tumpahan Minyak, Turis Pilih Check Out Lebih Awal’:

[Gambas:Video 20detik]

(acd/acd)

Membagikan
Exit mobile version