Kamis, Juli 4


Jakarta

Asal muasal layang-layang disebut dari China, namun fakta itu terbantahkan. Layang-layang tertua sejagat ada di Muna, Sulawesi Tenggara.

Fakta tersebut terungkap setekah penemuan lukisan orang yang sedang bermain layang-layang di dalam gua yang terletak di wilayah Muna. Di wilayah itu pula layang-layang dibuat bukan dari kertas, tetapi dari daun ubi hutan yang beracun itu disebut kaghati kolope.

Di Museum Layang-layang Indonesia di Kemang, Jakarta Selatan, pada salah satu ruangan terdapat kaghati kolope yang ukurannya cukup besar. Menurut pemandu sekaligus perajin layang-layang, Asep Irawan, kaghati kolope itu asil dari Muna dan umurnya sudah cukup tua.


Berbeda dengan bahan baku layang-layang lainnya, kaghati kolope terbuat dari daun ubi hutan yang cukup sulit mencarinya. Bahan-bahan lainnya pun masih menggunakan bahan alami, menariknya untuk menempelkan satu sama lain daun-daun tersebut tak menggunakan lem, melainkan ditusuk menggunakan bambu kecil.

“Nah ini layang-layang yang dibikin oleh orang purba gini, nggak dilem tapi dijahit pake bambu satu per satu. Dibikinnya dari daun gadung (ubi hutan beracun) namanya kaghati, layang-layang unik yang dapat dikategorikan sebagai layang-layang purba karena terbuat dari bahan-bahan yang tidak umum di layang-layang lain,” kata Asep kepada detikTravel, Kamis (27/6/2024).

Asep, perajin layang-layang dan pemandu wisata di Museum Layang-layang Indonesia di Jakarta. (Muhammad Lugas Pribady/detikcom)

Proses pembuatannya pun cukup memakan waktu tidak seperti layang-layang yang berbahan kertas ataupun kain, kaghati kolope bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan lamanya. Belum lagi untuk mengeringkan daun ubi hutan itu, Asep menyebut di tempat asalnya untuk mengeringkan daun tidak langsung di bawah sinar matahari tapi ditimpa dengan kasur kapuk.

“Bikinnya lama juga soalnya daun yang masih hijau dikeringin di bawah tikar terus pake kasur kapuk di atasnya, itu perlu beberapa bulan jadi nggak kering dijemur kalau kering dijemur itu cepat rapuh,” ujar dia.

Secara kualitas pun kaghati kolope ini bisa awet hingga lama, Asep memberitahu jika kebanyakan orang-orang luar negeri yang senang dengan layang-layang dan melihat kaghati kolope ini akan terpesona dan memboyongnya ke kampung halaman. Biasanya mereka melihat kaghati kolope saat ada festival layang-layang.

“Dulu ada orang dari Belanda dia beli (kaghati kolope) dari sini, udah berapa tahun nggak ancur dia taruh di rumahnya,” kata dia.

Kaghati kolope yang berukuran besar juga biasanya digunakan masyarakat di sana sebagai penutup makam-makam. Setelah selesai diterbangkan nantinya kaghati kolope tidak akan disimpan begitu saja ataupun dibongkar kembali tapi akan dijadikan atap pada makam.

Dan biasanya kaghati kolope juga diterbangkan dalam festival-festival layang-layang di dalam negeri maupun luar negeri, hal ini sebagai salah satu ciri khas layang-layang khas Indonesia dan juga layang-layang tertua di dunia. Sebagai informasi, saat ini tengah digelar festival layang-layang internasional di Ancol dan menurut Asep, Museum Layang-layang juga akan ikut berpartisipasi di festival tersebut.

Ia mengatakan sekitar 10 layang-layang besar nantinya akan di bawa untuk diterbangkan di sana. Saat detikTravel, singgah di Museum Layang-layang Indonesia, Asep tengah mempersiapkan satu layang-layangan dua dimensi berbentuk hanoman yang berukuran tinggi 2 meter dan lebar 1 meter.

“Mudah-mudah ini jadi karena baru diprint belum diaplikasikan, mudah-mudahan jadi. Saya ikut festival di Ancol, layang-layang hanoman itu lukisan peninggalan bapak saya jadi saya pengen mengabadikannya,” kata dia.

Nantinya layang-layangan hanoman ini jika selesai dibuat dan diterbangkan di festival layang-layang di Ancol akan dibawa juga ke festival layang-layang yang digelar di Muna, Sulawesi Tenggara.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version