Jumat, November 8


Jakarta

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) periode kepemimpinan Sakti Wahyu Trenggono ternyata tidak pernah menenggelamkan kapal asing pencuri ikan. Padahal pada masa kepemimpinan Susi Pudjiastuti kegiatan penenggelaman kapal sering kali dilakukan. Apa ya alasannya?

Inspektur Jenderal KKP Tornanda Syaifullah mengatakan, penenggelaman kapal berdampak buruk terhadap ekosistem lingkungan yang berada di bawah lautan.

“Nggak pernah, nggak pernah (lagi) kita (tenggelamkan kapal pencuri ikan), itu sebenarnya merusak, kalau kapal dibom itu merusak konservasi di bawahnya itu ikut rusak sebenarnya,” kata Tornanda di Kantor KKP Jakarta Pusat, Rabu (24/7/2024).


KKP saat ini menempuh cara lain untuk menangani kapal pencuri ikan salah satunya memanfaatkan kapal tersebut. Namun, Tornanda tidak menjelaskan lebih rinci soal pemanfaatan kapal pencuri ikan.

Ia hanya mengakui bahwa ada aturan yang harus dipenuhi pihaknya untuk memanfaatkan kapal pencuri ikan yang telah disita. Oleh karena itu, KKP sebenarnya tidak bisa sembarangan memanfaatkan kapal sitaan tersebut.

“Ada ketentuan hukum juga kemarin ada pemerintah daerah misalnya, memang mereka mau ini bicarakan juga dengan kementerian lain untuk izin digunakan (kapal pencuri ikan). Jadi nggak sembarangan juga,” jelasnya.

Sementara Staf Ahli Menteri Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut Menteri KP, Hendra Yusran Siri, mengatakan KKP bisa memanfaatkan kapal tersebut lewat berbagai cara, mulai dari menjadi kapal untuk kepentingan pendidikan sampai wisata.

Menurut Yusran, sangat disayangkan jika kapal yang disita oleh pihaknya dihancurkan. “Sangat disayangkan kalau misalnya dihancurkan atau ditenggelamkan,” bebernya.

Yusran kemudian mengatakan opsi lain adalah menjual kapal tersebut untuk menambah pendapatan negara, salah satu contohnya adalah satu kapal ilegal yang sempat ditahan KKP di sekitar Lautan Pasifik. Setelah beberapa tahun berada di pangkalan, KKP akhirnya bisa menjual kapal tersebut Rp 400 juta.

“Itu mendatangkan pendapatan negara sekitar Rp 400 juta, karena saat itu saya penanggung jawab bahwasanya aset ini bisa didayagunakan apakah diputihkan tapi pendapatannya tetap menjadi milik negara,” ujar dia.

(kil/kil)

Membagikan
Exit mobile version