Jakarta –
Raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex resmi jatuh pailit usai Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi. Putusan itu diumumkan MA pada Rabu, (18/12/2024).
MA memutuskan menolak kasasi dengan Nomor Perkara 1345 K/PDTSUS-PAILIT/2024, sehingga status pailit tersebut menjadi berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Adapun kasasi diajukan Sritex atas putusan pailit dari Pengadilan Negeri (PN) Semarang pada Oktober 2024 karena tak mampu melunasi utang.
Lalu, bagaimana kondisi Sritex usai MA tolak permohonan kasasi?
Koordinator Serikat Pekerja Sritex Grup, Slamet Kaswanto, mengatakan saat ini sejumlah karyawan Sritex masih melakukan aktivitas kerja sebagaimana mestinya dengan datang ke pabrik. Namun ada sebagian karyawan yang telah dirumahkan.
Menurutnya, hingga saat ini perusahaan belum mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun memang karena proses pailit yang berjalan, perusahaan terkendala dalam memperoleh suplai bahan baku sehingga operasional tidak dapat berjalan optimal.
“Karena belum ada izin going concern itu, yang terjadi, karyawan pada saat ini sudah tidak bekerja disebabkan karena tidak ada bahan baku untuk membuat produksi itu. Nah sebagian yang masih bekerja adalah menyelesaikan atau bahan baku yang masih ada masih bisa dikerjakan,” kata Slamet, saat dihubungi detikcom, Sabtu (21/12/2024).
1. 15.000 Karyawan Terdampak
Slamet menjelaskan, setidaknya ada sebanyak 15.000 karyawan yang terdampak kondisi pailit ini. Karyawan tersebut merupakan bagian dari empat perusahaan antara lain Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
“Yang total karyawannya (Grup Sritex) kan sebesar 50 ribu itu. Jadi, yang terdampak itu empat perusahaan, sekitar 15 ribu karyawan,” ujar Slamet.
Slamet sendiri merupakan karyawan dari PT Sinar Pantja Djaja sehingga ikut terdampak atas kondisi pailit ini. Menurutnya, saat ini beberapa di antara rekan-rekannya yang sudah tidak ada pekerjaan ada yang diminta membantu aktivitas lainnya seperti bersih-bersih pabrik, sedangkan beberapa lainnya dirumahkan.
“Kalau yang sudah tidak ada pekerjaan, ya ada yang di rumah, ada yang masih diminta untuk bersih-bersih pabrik atau seperti apa. Jadi aktivitasnya, tapi sebagian besarnya memang ada di rumah gitu. Karena memang tidak ada produksi,” kata dia.
2. 3.000 Karyawan Dirumahkan
Ia memperkirakan, ada sekitar 3.000 karyawan dari empat perusahaan tersebut yang saat ini dirumahkan. Mayoritas dari mereka ialah karyawan yang menangani proses pemintalan benang.
Menurut Slamet, kondisi ini disebabkan karena ketersediaan bahan baku benang yang kian menipis sehingga proses spinning tidak dapat dilakukan.
“Rata-rata yang berada di rumah itu karena bahan bakunya yang habis itu ya itu kapas untuk pembuat benang. Jadi itu sekitar ada 3 ribuan lah, total yang 4 perusahaan,” ujarnya.
3. Upah Dibayar 25%
Slamet juga bilang, para pekerja yang dirumahkan ini dibayar sebesar 25% gaji. Sedangkan yang masih bekerja ke pabrik dibayar secara normal.
“Nah proses yang dirumahkan itu dibayar 25% upahnya. Tapi kalau yang masih bekerja penuh tetap dibayar penuh,” kata dia.
Meski demikian, ia memastikan tidak ada gaji karyawan yang nunggak. Perusahaan masih tetap membayarkan gaji sesuai dengan jumlahnya, ditambah dengan hak tunjangan yang seharusnya didapat.
4. Produksi Tidak Jalan karena Belum Dapat Izin
Menurut Slamet, kendala utama dari minimnya ketersediaan bahan baku ini lantaran perusahaan tidak mendapat izin ekspor-impor selama proses kepailitan. Kondisi ini bahkan sudah terjadi sejak 2020 silam.
“Sebelum proses pailit diputus PN Semarang itu kan memang sudah ada yang dirumahkan juga. Karena prosesnya sejak tahun 2020 itu ya. Jadi kalau ada bahan baku masuk, kalau nggak ada dirumahkan,” kata Slamet.
Atas kondisi ini, pihaknya berharap agar Sritex diberikan opsi untuk going concern oleh kurator maupun hakim pengawas. Dengan demikian aktivitas produksi perusahaan masih bisa dilanjut dan
“Harapannya kami tetap bekerja, karena proses kepailitan itu kan ada dua, yaitu pemberesan dan going concern. Going concern itu bisa dilakukan oleh siapapun, oleh investor siapapun. Peran pemerintah di sini kan bisa,” ujar Slamet.
“Kenapa memilih ke going concern? Karena hubungan kerja akan terjadi, pekerjaan berlanjut, upah tetap dibayar, dan itu adalah kesejahteraan menurut kami. Ketimbang kita menunggu pemberesan tentang harta pailit yang nanti akan dilelang, dijual, entah kapan lakunya, kita belum tentu dapat pesangon, upah sudah tidak kita dapatkan, lapangan pekerjaan belum tentu juga kita dapatkan,” sambungnya.
Simak Video: Bos Sritex Bantah PHK Massal, Hanya Liburkan 2.500 Orang Karyawan
[Gambas:Video 20detik]
(shc/hns)