Lampung Selatan –
BAKTI Komdigi memberikan 15 perangkat IoT (Internet of Things) kepada Desa Palas, Lampung Selatan. Perangkat tersebut termasuk lima perangkat smart autofeeder di Desa Bangunan, Dusun 008.
Taslimin Ketua Kelompok Budidaya Ikan (POKDAKAN) Margo Rejo Semarang Jaya di Kecamatan Palas menjelaskan bahwa di dusun 008 menambak ikan patin dan lele. Untuk mengelola kolam, bahkan satu saja, butuh waktu banyak dan tenaga yang dicurahkan. Beruntung, BAKTI mengenalkan smart autofeeder dari efishery.
“Sebelum kita kenal eFishery, semua kerjaan manual, pakai tangan tebarnya. Ada eFishery kita terbantu bisa kerja lain dan waktunya efisien,” katanya kepada detikcom.
Memang butuh waktu, tapi lama kelamaan pihak pembudidaya berhasil beradaptasi. Kini, yang dirasakan hanyalah manfaat dari penggunaan smart autofeeder.
Smart autofeeder pemberian BAKTI Komdigi. Perangkat IoT ini buatan eFishery, perusahaan anak bangsa. Foto: Tripa Ramadhan/detikcom
|
“Awalnya masih bingung, tapi setelah dipelajarin lumayan lancar. Dilihat hasilnya juga sejauh ini sangat efisien, menekan cost pakan,” lanjut Taslimin.
Ade Setiawan L. Tobing Project Manager Program Digitalisasi Perikanan dari eFishery menjabarkan lebih detail bagaimana teknologi smart autofeeder dapat meningkatkan pemasukan para pembudidaya. Poin pertama yang dia tekankan adalah tujuan untuk memberikan edukasi kepada pembudidaya.
“Karena selama ini kan mereka banyak konsep ya, ‘yaudah tinggal ngasih pakan besar, kalau (ikan –red) besar yaudah kita panen. Kalau enggak, yaudah’. Tanpa ada perhitungan yang matang, gimana cara perhitungan pakan yang baik, efisiensi pakan yang baik itu seperti apa,” ucap Ade.
|
Setelah teredukasi, efishery juga berharap adanya peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan penggunaan alat smart autofeeder, ditarget akan ada pengurangan sekitaran 200-300 gram pakan per kilo. Bermain angka FCR (Feed Conversion Ratio), target eFishery yang dijanjikan kepada BAKTI adalah 1,3 kg pakan dapat menghasilkan 1 kg daging.
“Jadi itu tadi kan ada 100 gram atau 200 gram saja yang turun per kg. Kalau misalnya dia hasilnya 10 ton, udah berapa? Keluhan dari petani itu adalah pakan. Karena 60% dari budidaya itu aspeknya adalah pakan,” jabarnya.
Dengan gap harga tersebut, maka bisa kita artikan itu sebagai profit tambahan.
Coba bayangkan, misalnya, penjualan di daerah Palas memiliki harga bersih Rp 17.000, sedangkan harga pakan pembudidaya berhasil ditekan menjadi Rp 11 ribu per kilo. Coba kalikan Rp 11.000 dengan angka 1,3 tadi. Jangan lupa untuk menambahkan biaya untuk benih yang ditabur.
“Mereka cuma dapat keuntungan Rp 2.000 per kg. Mereka ngejaga 5 bulan tapi cuma dapat Rp 2.000 per kg. Hasil mereka misalnya 1 ton. Satu ton paling cuma Rp 2 juta. Cuma dapat berapa per bulan? Makanya dengan kita tekanin pakannya tadi, biayanya bisa kita turunin jadi Rp 12.500 misalnya. Berapa gap keuntungan? Ada Rp 1.500 lagi kan,” tandasnya.
(ask/ask)