Minggu, Januari 5

Jakarta

Beberapa tahun terakhir, studio game sangat memprioritaskan tampilan grafis pada game buatannya. Namun makin ke sini, biaya produksinya makin ugal-ugalan.

Sejumlah raksasa di industri game, sebut saja Sony dan Microsoft, mengandalkan tampilan grafis yang sangat realistis agar game buatannya menarik minat para gamer.

Begitu juga dengan Naughty Dog (pembuat The Last of Us dan seri Uncharted), CD Projekt Red (The Witcher 3 dan Cyberpunk 2077), Rockstar Games (Red Dead Redemption 2 dan Grand Theft Auto V), sampai Guerrilla Games (Horizon series), yang secara konsisten memprioritaskan tampilan grafis, dan memang, terbukti sukses secara komersil.


Strategi ini memang sukses mengubah tampilan game yang dulunya dua dimensi dan pixelated menjadi tampilan grafis tiga dimensi yang realistis dan sangat detail. Namun, biaya untuk membuat game dengan tampilan grafis seperti ini pun terus meroket.

Sebut saja Spider-Man 2, game PS5 keluaran 2023, yang bisa menyajikan Peter Parker dengan “seragam” Spiderman yang ikonik, melompat ke sana-sini di sela-sela gedung pencakar langit New York City, lengkap dengan pantulan sinar matahari yang begitu akurat.

Terlihat memukau? Tentu saja. Namun biaya pengembangan Spider-Man 2 ini tak main-main, karena kabarnya mencapai USD 300 juta. Biaya sebesar itu tiga kali lipat lebih besar biaya pengembangan game Spider-Man seri sebelumnya, yang dibuat pada tahun 2018.

Game ini memang sukses di pasaran, terjual lebih dari 11 juta kopi hingga saat ini. Namun Sony tetap mem-PHK 900 pegawainya pada Februari 2024, yang juga berdampak pada pengembang game di Insomniac.

Ini artinya, keuntungan dari pembuatan game ini juga semakin berkurang. Ditambah lagi menurut Jacob Navok, mantan eksekutif di Square Enix, game dengan tampilan grafis memukau ini pun hanya menarik untuk gamer yang berusia 40 tahun ke atas.

Sementara gamer yang lebih muda ternyata malah lebih tertarik pada game yang grafisnya sederhana, sebut saja Minecraft, Roblox, ataupun Fortnite. Ini karena, menurut Joost van Dreunen, analis pasar dan profesor di New York University, aspek sosial lebih penting untuk gamer yang lebih muda.

“Bermain (game) dijadikan alasan untuk nongkrong dengan orang lain.” kata van Dreunen, seperti dikutip detikINET dari Techspot, Selasa (31/12/2024).

(asj/rns)

Membagikan
Exit mobile version