Jumat, Juli 5


Jakarta

Fenomena judi online kian menjamur di Indonesia. Berbagai cara dilakukan para penjudi agar bisa melakukan aktivitas haram ini, contohnya menggunakan akun dompet digital (e-wallet) hingga jual-beli rekening.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto sebelumnya pernah menyebut jumlah pemain judi online di Indonesia tembus 3,2 juta orang. Dari jumlah tersebut sekitar 80% di antaranya melakukan taruhan kecil di bawah Rp 100 ribu.

Dengan jumlah pemain sebanyak itu, ia mengatakan dalam 3 bulan pertama 2024 saja total perputaran uang judi online sudah mencapai Rp 100 triliun. Sedangkan pada 2023 perputaran uang dari Judi online mencapai Rp 327 triliun.


Namun sebelum kasus judi online ini marak terjadi di RI, ternyata pemerintah pernah melegalkan aktivitas yang satu ini. Bahkan di Kota Jakarta pernah berdiri sejumlah kasino dan tempat perjudian, termasuk di gedung Sarinah.

Dikutip dari detikX, keberadaan kasino dan tempat judi lainnya pertama kali hadir di Ibu Kota saat masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. Menurutnya kala itu kota Jakarta sedang benar-benar memerlukan dana untuk membangun jalan dan fasilitas umum.

Atas dasar inilah pria yang akrab disapa sebagai Bang Ali ini berkeras untuk melokalisasi tempat-tempat perjudian dan memungut pajak dari sana. Menurutnya, keputusan itu memiliki landasan hukum, yakni Undang-undang Nomor 11 tahun 1959 tentang Peraturan Pajak Daerah yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas izin perjudian.

Praktik judi ini pun menurut Ali Sadikin hanya ditujukan pada golongan tertentu saja atau warga negara asing. Sehingga pada saat itu tidak semua orang bisa masuk ke dalam kasino yang berada di Sarinah misalnya. Hanya mereka yang memiliki

Berkat pajak judi saat itu, isi brankas pemerintah DKI Jakarta yang semula kering kerontang mulai terisi. Dengan pajak dari judi itu pula, Ali Sadikin mengongkosi pelbagai proyek di Jakarta seperti Taman Ismail Marzuki dan proyek perbaikan kampung-kampung.

Sementara itu dalam buku ‘Gita Jaya: Catatan Ali sadikin Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966-1977’ yang ditulis langsung oleh Ali Sadikin dan diterbitkan oleh Pemprov DKI Jakarta (1977), disebutkan kala itu Pemprov DKI sangat ketat dalam mengatur tempat perjudian ini.

Lokalisasi ini dimaksudkan untuk menjaga masyarakat umum agar tidak terpapar aktivitas judi di tempat terbuka. Selain itu dengan adanya tempat-tempat judi legal seperti ini, pemerintah dapat menjaga retribusi kota Jakarta.

“Berdasarkan peraturan perundangan yang ada ketentuannya (UU Darurat No. 11 Tahun 1957), Atas kewenangan tersebut pemerintah DKI Jakarta mengambil langkah-langkah kebijaksanaan baik bersifat preventif, maupun represif terhadap perjudian,” ungkap Ali Sadikin dalam buku tersebut.

“Dalam upaya melokalisir penyelenggaraan judi pemerintah DKI Jakarta memanfaatkan hasil pajak judi sebagai salah satu sumber keuangan daerah,” tambahnya.

Oleh karena itu pada masa kepemimpinan Ali Sadikin, lokasi perjudian tidak boleh berdekatan dengan kawasan permukiman, tempat ibadah, tempat-tempat kebudayaan, dan lokasinya harus tertutup serta tidak mudah untuk didatangi masyarakat berpenghasilan kecil. Karenanya, salah satu kasino yang cukup populer di zaman itu berada di dalam gedung Sarinah.

Selain di kawasan Sarinah, berdasarkan surat Keputusan Gubernur kala itu Pemprov DKI juga memberi izin pembukaan tempat judi lain seperti di Casino Petak IX, Casino Djakarta Theatre, Casino Copacabana, Stand Ketangkasan di Jakarta Fair/Arena Promosi dan Hiburan Jakarta, Lotto Fair Proyek Senen dan Krekot, Toto Pacuan Kuda Pulo Mas, Toto Hai Lai Ancol dan Toto Greyhound Senayan.

“Sebagaimana telah saya kemukakan, kebijakan menerbitkan judi gelap diarahkan untuk memanfaatkan hasil pajak judi tersebut bagi kepentingan pembangunan. Dewasa ini penerimaan daerah dari pajak judi meliputi jumlah yang cukup besar dari seluruh pendapatan daerah,” pungkas Ali.

Namun semua tempat perjudian itu harus ditutup setelah pemerintah pusat yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dengan tegas melarang aktivitas tersebut.

Penutupan kasino ini dilakukan sejalan dengan terbitnya Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Dalam Pasal 1 UU tersebut dinyatakan dengan tegas semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.

Sedangkan untuk proses penertibannya perjudian baik secara nasional atau khususnya di Jakarta dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Untuk itu akhirnya pemerintah mengeluarkan PP No. 9 Tahun 1981.

“Pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain” tulis Pasal 1 Ayat (1) PP itu.

“Izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Maret 1981,” tambah Ayat (2) Pasal yang sama.

Sejak saat itu, dengan adanya UU No 7 Tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1981, tidak berlaku lagi semua peraturan perundang-undangan tentang Perjudian yang bertentangan dengan dua aturan ini. Sehingga secara sah keberadaan kasino dan tempat judi lainnya dilarang di Indonesia.

(fdl/fdl)

Membagikan
Exit mobile version