Ternyata masih banyak nih traveler yang belum tahu kalau di Gedung Sate ada smart museum yang aesthetic, pasti cocok banget buat dikunjungi akhir pekan ini.
Buat kamu yang mau mengunjungi museum-museum yang ada di kota Bandung, khususnya buat kamu yang suka dengan bangunan dan arsitektur dari Gedung Sate. Museum Gedung Sate merupakan sebuah gagasan untuk mengapresiasikan nilai-nilai daerah melalui peninggalan sejarah.
Museum ini selesai dibangun pada tahun 2017 yang diresmikan oleh gubenur Ahmad Heryawan dan berlokasi di Gedung Sate Jl. Diponegoro No.22, Bandung Wetan.
Museum ini juga memiliki nilai tambah dalam segi penyajian informasi dengan konsep smart museum yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung dan turis asing dengan menggunakan konsep edukatif dan menghibur melalui berbagai media teknologi interactive di dalamnya seperti Augmented Reality, Interactive Floor, Virtual Reality, Audiovisual, dan Interactive Picture Frame.
Sejarah pembangunan Gedung Sate ini bermula pada awal abad ke-19, Daendels membangun Jalan Raya Pos sepanjang 1000 kilometer terbentang dari Anyer hinga Panarukan. Daendels meminta Wiranatakusumah II untuk mendirikan kota di pinggir jalan tersebut.
Tahap awal pendirian kota adalah dengan membangun kompleks alun-alun yang terdiri dari Pendopo, bale Bandung dan pasar yang berfungsi sebagai pusat kota Bandung pada tahun 1812.
Gedung Sate dirancang dengan konsep arsitektur tropis yang dibuat oleh J. Gerber yang didasari penyesuaian pada iklim setempat dengan menampilkan perpaduan gaya Nusantara dan Eropa.
Esensi gaya ini adalah penggunaan unsur nilai lokal yang digabungkan dengan unsur modernisme dari Eropa. Perancangan bangunan Gedung Sate mengangkat gaya arsitektur Indo-Eropa atau Indo-Europeesche Stijl.
Gaya ini menampilkan pendekatan fungsional dengan menyederhanakan dekorasi, berbeda dengan elemen di Barat yang bersifat anti-sejarah, anti-ornamen dan tidak terikat dengan konteks tempat.
Istilah arsitektur Indo-Eropa mengacu pada jenis arsitektur yang terdapat di Hindia Belanda pada masa peralihan yang singkat, awal abad ke-20. Gaya ini berbaur dengan varian arsitektur modern di Hindia Belanda: Art deco, Ekpresionisme, Nieuwe zakelijkheid, dan lain-lain.
Gedung Sate merupakan gedung kedua di Bandung yang menggunakan konstruksi beton bertulang dan semen Portland, setelah Gedung Bank Indonesia.
Konstruksi ini menjadikan Gedung Sate tahan terhadap gempa. Gedung Sate telah beberapa kali diguncang gempa besar, antara lain Gempa Pangandaran tahun 2006 (6.8SR), Gempa Tasikmalaya tahun 2009 (73 SR), dan Gempa Yogyakarta tahun 2009 (5.9 SR).
Batu belah digunakan untuk pondasi dan dinding struktur lantal satu, sebagai perekatnya digunakan campuran semen portland dengan agregat halus.
Pasangan dinding batu dilantai satu ini memiliki ketebalan sekitar 1 meter, dinding ini terdapat di setiap bagian tengah sayap bangunan serta berbentuk persegi dan diisi tanah sebagai penyeimbang dan penahan dari goncangan gempa bumi.
Dinding ini kemudian diplester menggunakan campuran semen dan agregat halus, kemudian di aci dan di cat. Lalu adapun bahan ornamen enam bulatan kecil pada penangkal petir di puncak menara Gedung Sate melambangkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembangunannya sekitar 6.000.000 Gulden.
Untuk mengunjungi Museum Gedung Sate, pengunjung hanya dikenakan tarif masuk sebesar Rp. 5.000 per orang. Gedung Sate tidak buka setiap hari.
Museum ini hanya buka pada hari Selasa hingga Minggu saja sehingga pada hari Senin dan hari Besar Nasional tutup. Jam buka Museum Gedung Sate mulai dari pukul 09.30 WIB dan tutup pada pukul 16.00 WIB.