Selasa, November 5


Lamongan

Sunan Sendangduwur atau Raden Noer Rahmat adalah penyebar agama Islam di Lamongan. Ia mendirikan masjid dengan kisah ‘ajaib’ di kota itu. Seperti apa kisahnya?

Raden Noer Rahmat merupakan keturunan Syekh Abdul Qohar dari Baghdad yang merantau ke pulau Jawa dan menikah dengan putri dari Tumenggung Sedayu bernama Dewi Sukarsih.

Hal ini diungkapkan oleh Irfan Masyhuri yang mengaku sebagai keturunan ke-13, sekaligus juru kunci makam Sunan Sendangduwur. Hingga kini, makamnya yang terletak di kawasan dataran tinggi Desa Sendangduwur, Kecamatan Paciran masih banyak dikunjungi para peziarah.


“Raden Noer Rohmat lahir pada tahun 1520 masehi dan saat remaja kemudian berpindah dari Sedayulawas, lalu babat alas di tempat yang bernama Dukuh Tunon ini,” ujar Irfan.

Sejumlah peninggalannya masih terawat dan digunakan hingga kini. Salah satunya yakni masjid yang berada di area pemakaman Sunan Sendangduwur. Ada cerita menarik terkait pembangunan masjid ini.

Menurut cerita, terang Navis, masjid yang berada di makam Sendangduwur ini dibangun tidak secara bertahap. Namun ada beberapa versi cerita yang melingkupi pembangunan masjid ini.

Cerita pertama, masjid tersebut ‘diboyong’ oleh Sunan Sendangduwur dalam waktu kurang dari semalam dari wilayah Mantingan, Jepara, tempat Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono yang saat itu mempunyai masjid.

“Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer Rahmat berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendangduwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid,” ungkap Navis.

Cerita lain terkait masjid ini, ungkap Navis, masjid tersebut dibawa rombongan melalui laut dari Mantingan Jepara menuju KE Lamongan hanya dalam waktu satu malam.

Ketika mendarat di Lamongan, rombongan pengantar masjid ini diterima langsung oleh Sunan Sendangduwur dan Sunan Drajat beserta pengikutnya.

“Saat istirahat inilah sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat,” papar Navis.

Pendirian masjid sendiri ditandai dengan surya sengkala yang berbunyi ‘gunaning seliro tirti hayu’ yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.

——-

Artikel ini telah naik di detikJatim.

Simak Video “Catat! Kegiatan Ramadan di Masjid Istiqlal Selama Bulan Puasa
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version