Rabu, Januari 15


Jakarta

Laninka Siamiyono berbagi pengalaman tentang tantangan aksesibilitas saat berwisata. Ia menyerukan perlunya fasilitas inklusif di destinasi wisata.

Laninka seorang disabilitas tuna daksa membagikan pengalamannya tentang aksesibilitas menjadi tantangan utama saat berwisata.

“Tempat wisata seringkali memiliki banyak tangga, jalan berbatu, atau fasilitas yang tidak ramah untuk pengguna kursi roda,” ujar Laninka kepada detikTravel, Sabtu (14/12/2024).


Bagi Laninka, aksesibilitas bukan hanya soal jalan yang rata, tetapi juga tersedianya lift, ramp, dan fasilitas staff yang dapat berbahasa isyarat.

Laninka menyoroti pentingnya akses yang lebih inklusif di tempat wisata. Menurutnya, penyediaan fasilitas seperti toilet ramah disabilitas adalah prioritas utama.

“Kadang ada toilet kursi roda, tapi ruangnya sempit, jadi kursi rodanya tidak bisa masuk. Ini malah menyulitkan,” kata dia.

Dia menyatakan kondisi itu menunjukkan bahwa pemahaman mendalam tentang kebutuhan penyandang disabilitas sangat diperlukan dalam merancang fasilitas wisata.

Destinasi Wisata yang Perlu Lebih Inklusif

Berdasarkan pengalaman Laninka, masih banyak destinasi wisata di Indonesia yang belum sepenuhnya ramah terhadap penyandang disabilitas. Hal ini membuat banyak penyandang disabilitas kesulitan untuk menikmati liburan dengan maksimal, meskipun beberapa fasilitas dasar sudah tersedia.

“Saat saya berkunjung ke Dufan, sebenarnya banyak wahana yang bisa diakses pengguna kursi roda, seperti Bianglala. Namun, kami yang memiliki keterbatasan sering kali tidak dapat menikmatinya. Tidak jarang, saya hanya menghabiskan waktu di restoran tanpa benar-benar merasakan liburan. Karena itu, saya jarang pergi ke tempat wisata,” kata dia.

Pengalaman tersebut menciptakan rasa kecewa, terutama ketika biaya masuk yang dibayarkan tidak sebanding dengan fasilitas yang diterima. Meski demikian, Laninka juga menemukan beberapa tempat wisata yang cukup mendukung, seperti Taman Bunga Nusantara di Puncak.

“Jalannya mulus, tapi areanya sangat luas sehingga mendorong kursi roda menjadi lebih melelahkan,” ujar dia.

Harapan untuk Pengelola Wisata

Laninka berharap para pengelola wisata mulai memahami bahwa aksesibilitas bukan hanya untuk penyandang disabilitas, tetapi juga bermanfaat bagi kelompok lain seperti lansia, ibu dengan stroller, dan anak-anak. Selain fasilitas fisik, pelatihan bagi petugas wisata juga sangat penting.

“Mungkin yang perlu digarisbawahi adalah bahwa setiap individu berhak untuk bahagia, dalam arti berhak untuk berlibur. Memang sulit memposisikan diri di sudut pandang orang lain, tetapi alangkah baiknya jika para pemilik usaha dan pengelola tempat wisata mulai memikirkan bagaimana agar tempat wisatanya dapat dinikmati oleh semua kalangan. Fasilitas seperti ram misalnya, tidak hanya membantu penyandang disabilitas, tetapi juga memudahkan ibu-ibu yang membawa stroller, anak-anak kecil, hingga kaum lansia,” Laninka menjelaskan.

Laninka juga menegaskan bahwa fasilitas untuk penyandang disabilitas yang memadai justru akan mempermudah tugas staf atau petugas di area wisata. Dengan begitu, mereka tidak perlu kesulitan memberikan bantuan tambahan yang seharusnya bisa diatasi oleh fasilitas yang sudah tersedia.

“Mungkin sedikit tambahan, karena percuma saja kalau tempat wisatanya sudah aksesibel, seperti misalnya Dufan. Aksesnya sudah bagus, tapi kalau karyawannya tidak tahu cara membantu teman-teman disabilitas, untuk apa? Ibaratnya, tempatnya sudah aksesibel, tapi menjadi tidak aksesibel karena petugas atau orang-orangnya tidak cukup paham cara menghandle teman-teman berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas,” ujar Laninka.

Petugas yang terlatih dapat memudahkan penyandang disabilitas untuk menikmati wahana seperti bianglala dengan aman. Menurutnya, pemahaman tentang cara menghandle penyandang disabilitas adalah kunci untuk menciptakan pengalaman wisata yang inklusif.

Mewujudkan Pariwisata yang Inklusif

Pariwisata inklusif membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, pengelola wisata, dan masyarakat. Pembangunan fasilitas harus memperhatikan kebutuhan semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas.

Laninka percaya, dengan perhatian dan tindakan nyata, wisata yang inklusif tidak hanya akan memberikan pengalaman yang lebih baik bagi penyandang disabilitas, tetapi juga menjadikan pariwisata Indonesia lebih berdaya saing di kancah global.

“Kami juga ingin merasakan liburan tanpa merepotkan orang lain,” kata Laninka.

Dengan menghadirkan fasilitas yang inklusif, pariwisata tidak hanya memberikan pengalaman yang setara bagi semua kalangan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang nyaman tanpa rasa sungkan atau keterbatasan. Inilah langkah nyata menuju pariwisata yang lebih ramah, adil, dan berdaya saing global.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version