Senin, Juli 1

Jakarta

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberikan penjelasan terkait perbedaan penerapan Biaya Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi Radio kepada Starlink dengan operator seluler. Diketahui bahwa perbedaan sewa frekuensi keduanya jauh berbeda bak langit dan bumi.

Kominfo dikabarkan mengenakan BHP Izin Stasiun Radio (ISR) satelit ke Starlink dan itu pun satu unit satelit dengan nilai maksimal Rp 2 miliar per tahun. Padahal layanan internet berbasis satelit ini yang memancar koneksi sinyal internet di Indonesia lebih dari 200 unit.

Sedangkan untuk BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang ditanggung operator selular dan dibayarkan ke kas negara tahun 2023 mencapai Rp 21,1 triliun.


Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen SDPPI) Ismail, meluruskan informasi bahwa BHP ISR yang ditanggung Starlink mencapai Rp 23 miliar per tahun.

“Besaran BHP ISR yang dikenakan kepada Starlink yang benar adalah sekitar Rp23 Miliar per tahun,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Minggu (23/6/2024).

Ismail menuturkan besaran BHP Spektrum Frekuensi Radio berdasarkan ISR untuk layanan satelit merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2023).

“PP No. 43 Tahun 2023 tersebut ditetapkan setelah melalui serangkaian konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dan tahapan harmonisasi dengan sejumlah kementerian terkait lainnya,” jelasnya.

Dirjen Ismail mengatakan pengenaan BHP ISR untuk semua penyelenggara satelit merujuk pada regulasi yang sama, yaitu PP No. 43 Tahun 2023 dan aturan pelaksanaannya. Dengan demikian, BHP ISR yang dikenakan untuk Starlink bersumber dari dasar hukum sama seperti BHP ISR untuk penyelenggara satelit lain.

“Peran dari Kementerian Kominfo adalah menghitung dan menetapkan besaran BHP ISR untuk penyelenggara satelit dengan berdasarkan pada formula dan indeks yang telah ditetapkan dalam regulasi, baik PP No. 43 Tahun 2023 maupun aturan pelaksanaannya, untuk kemudian ditagihkan kewajiban BHP tersebut kepada penyelenggara satelit bersangkutan,” tutur Ismail.

Dirjen Ismail menegaskan BHP Seluler yang melekat pada IPFR berbeda dengan BHP Satelit yang berupa ISR. Menurutnya, BHP IPFR seluler bersifat eksklusif, dalam artian satu pita frekuensi, satu pemegang izin, untuk satu wilayah layanan.

Sedangkan BHP ISR Satelit tidak bersifat eksklusif, sehingga satu pita frekuensi tertentu tidak hanya digunakan oleh satu pemegang izin, melainkan bersama-sama dengan penyelenggara satelit lain.

“Penggunaan frekuensi untuk satelit menggunakan pola sharing frekuensi melalui pemanfaatan slot orbit yang berbeda atau pembagian wilayah cakupan, yang menjadikannya tidak eksklusif di satu pita frekuensi tertentu. Hal yang sama juga terjadi untuk layanan Starlink,” jelasnya.

Disampaikanya penerapan ISR sesuai ketentuan regulasi, durasi penggunaan lebih pendek dibandingkan IPFR.

“Jika IPFR dapat diberikan maksimal 10 tahun, ISR hanya dapat diberikan maksimal 5 tahun. Khusus untuk satelit asing, juga terikat dengan siklus evaluasi tahunan terhadap hak labuh yang telah diterbitkan,” ungkapnya.

Berbeda dengan BHP ISR, termasuk untuk satelit yang perhitungannya menggunakan formula sebagaimana telah diatur dalam regulasi PP No. 43 Tahun 2023, menurut Dirjen Ismail, BHP IPFR Seluler, khususnya pada tahun-tahun awal izin, pada umumnya ditetapkan sebagai hasil dari mekanisme lelang frekuensi dimana terjadi kompetisi harga diantara para calon pemegang izin.

(agt/agt)

Membagikan
Exit mobile version