Jumat, April 18
Jakarta

Pada akhir tahun 2024, saya membaca sebuah artikel dari harian nasional ternama yang melakukan riset mengenai sepuluh kawasan metropolitan atau aglomerasi di Indonesia yang ideal untuk pensiun dan menjalani gaya hidup tenang, alias slow living.

Hasil riset tersebut mencakup kawasan-kawasan seperti Kedu Raya, Tasikmalaya Raya, Banyumas Raya, Malang Raya, Kedungsepur Raya, Tapal Kuda, Bukalipatar, Solo Raya, Bandung Raya, dan Kediri Raya.

Dari sepuluh kawasan tersebut, Kedu Raya yang meliputi Kabupaten Purworejo, Temanggung, Magelang, Wonosobo serta Kota Magelang menarik perhatian saya. Saya dan istri sudah beberapa kali berdiskusi tentang rencana pensiun kami kelak.


Melihat hasil riset ini membuat kami tertarik untuk mencoba Kedu Raya sebagai tujuan kami. Nama-nama daerah tersebut sering muncul dalam diskusi kami.

Oleh karena itu pada awal tahun 2025 kami memutuskan untuk melakukan perjalanan singkat ke Kabupaten Purworejo yang merupakan bagian dari Kedu Raya sebagai bagian dari “survei” kecil terkait rencana pensiun kami.

Mengapa memilih Kabupaten Purworejo? Pertama-tama karena orang tua saya berasal dari sana. Selain itu, adik istri saya bekerja di Kutoarjo yang merupakan bagian dari kabupaten ini.

Kami juga sering mendengar julukan Kabupaten Purworejo sebagai “kota pensiunan”. Semua alasan ini mendorong kami untuk melakukan perjalanan selama dua hari satu malam.

Kami berangkat menggunakan kereta api Fajar Utama Yogya dari Stasiun Pasar Senen sekitar pukul enam pagi. Untuk menuju Purworejo dengan kereta api sebenarnya ada beberapa opsi lain seperti Sawunggalih atau kereta lainnya yang melalui jalur Selatan menuju Yogyakarta atau Solo.

Singkat cerita setelah menempuh perjalanan cukup panjang hingga tiba di Stasiun Kutoarjo sekitar pukul setengah dua siang. Sehari sebelumnya, istri sudah berinisiatif menyewa kendaraan roda dua agar mobilisasi kami lebih mudah selama berada di sana.

Begitu tiba di parkiran, kendaraan sewaan pun sudah tersedia sehingga kami langsung melanjutkan perjalanan ke penginapan tanpa menunggu lama. Dalam waktu kurang lebih lima menit berkendara motor akhirnya sampai juga ke penginapan yang lokasinya tidak jauh dari stasiun serta dekat dengan alun-alun Kutoarjo.

Sehingga saat malam tiba bisa sekalian mencari makan malam. Setelah check-in dan menaruh barang bawaan di penginapan, kami merencanakan untuk mencari makan siang karena waktu sudah sangat telat bagi jam makan siang.

Dawet Ireng Purworejo

Selain mencari makan siang, sekalian saja jalan-jalan untuk menyusuri jalan raya Kebumen-Kutoarjo (Prembun-Kutoarjo). Istri saya mengusulkan untuk mencoba jajanan khas daerah ini yaitu Dawet Ireng Jembatan Butuh.

Oleh karena ini adalah kali pertama bagi kami menjelajahi daerah Kutoarjo, kami pun mengandalkan Google Maps untuk menemukan warung Dawet Ireng terkenal itu.

Perjalanan menuju lokasi ternyata memakan waktu sekitar satu jam karena saya memacu motor tidak terlalu kencang, maklum saja karena sudah usia. Namun sesampainya di sana, warung tujuan ternyata sudah tutup karena aktivitas bersih-bersih warung sedang dilakukan dan hampir selesai.

Akhirnya, kami putar haluan kembali ke arah semula. Tak sengaja dalam perjalanan pulang melihat warung pinggir jalan lain yang juga menjual dawet ireng. Kami pun mampir dengan harapan masih mendapatkan rejeki sore itu.

Sesuai harapan, ternyata warung tersebut tidak hanya menjual dawet ireng tetapi juga menyediakan menu Kupat Tahu yang bisa sebagai menu makan siang kami.

Satu porsi Kupat Tahu dan dua porsi Dawet Ireng pun kami pesan dan itu semua hanya perlu kami bayar tak lebih dari 20 ribu rupiah (Kupat Tahu 10 ribu rupiah ,Dawet Ireng 5 ribu rupiah). Sangat terjangkau bukan?

Di warung sederhana itu ,saya dan istri berbincang panjang lebar tentang kesan pertama setelah tiba di Purworejo, mulai dari udara segarnya hingga biaya hidup jika kelak tinggal di sini.

Sepanjang perjalanan menggunakan motor terasa sekali hawa kehidupan tenang menghampiri kita di sini apa lagi cuaca mendukung, yakni mendung tipis membuat udara terasa sejuk.

Biaya hidup mungkin dapat direpresentasikan oleh harga makanan sederhana seperti warung tempat singgah tadi. Setelah menikmati makanan sambil ngobrol santai kami melanjutkan survei kecil ke Alun-alun Kutoarjo sekaligus mengunjungi salah satu lokasi pembangunan rumah bersubsidi yang sedang nge-hits di daerah.

Hari itu ditutup dengan membeli kopi malam hari di sebuah kedai sederhana atau bisa dibilang kafe kecil bernuansa jadul tepat berada di sudut seberang alun-alun.

Kendati terlihat mahal, kafe menawarkan kopi racikan yang nikmat namun sangat terjangkau harganya. Suasana kafe pun mendukung atmosfer slow living sesuai impian masa depan kami suatu saat nanti.

Malam beranjak larut sehingga kami pun kembali ke penginapan untuk istirahat dan bersiap-siap pulang esok pagi dengan kereta Sawunggalih.

Membagikan
Exit mobile version