Sabtu, Maret 15


Jakarta

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat setoran pajak di awal 2025 turun. Penerimaan pajak hingga Februari mencapai Rp 187,8 triliun atau baru 8,6% dari target.

Angka tersebut turun 30,19% dibandingkan realisasi pajak Februari 2024 (year on year) yang mencapai Rp 269,02 triliun. Sementara penerimaan pajak di 2025 pemerintah menargetkan bisa mencapai Rp 2.189,3 triliun.

“Penerimaan Pajak Rp 187,8 triliun atau 8,6% dari target (Rp 2.189,3 triliun),” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam Konferensi Pers APBN KiTA Edisi Maret 2025 di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025).


Khusus pada Januari 2025, penerimaan pajak juga lebih rendah 41,86%. Penerimaan pajak awal tahun hanya terkumpul Rp 88,89 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sejumlah Rp 152,89 triliun.

Hal itu terungkap dalam dokumen APBN KiTa edisi Februari 2025, yang berisi laporan kinerja APBN per Januari 2025. Dokumen itu sempat dirilis Kementerian Keuangan di website resmi, namun kemudian dihapus.

Penyebab Anjlok

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menjelaskan dua faktor penyebab penerimaan pajak turun. Pertama, karena adanya penurunan harga komoditas andalan dari ekspor Indonesia.

“Faktor pertama itu adalah penurunan dari harga komoditas utama antara lain batubara year on year (turun) 11,8%, brent minyak turun 5,2% dan nikel turun 5,9%,” beber Anggito, dalam kesempatan yang sama.

Kedua, faktor administrasi. Hal itu dikarenakan adanya kebijakan baru yakni implementasi Tarif Efektif Rata-rata (TER) untuk PPh 21 dan ada kebijakan relaksasi pembayaran PPN dalam negeri selama 10 hari, sehingga dapat dibayarkan hingga 10 Maret 2025.

“Jadi ini adalah dampak relaksasi yang harusnya menjadi bagian dari perhitungan Februari, namun karena relaksasi jadi kami sudah memantau,” imbuhnya.

Meski demikian, menurutnya penurunan penerimaan pajak dalam dua bulan awal 2025 ini adalah hal yang normal. Kondisi serupa disebut juga terjadi dalam empat tahun terakhir, di mana tren awal tahun lebih rendah dibandingkan akhir tahun.

“Penerimaan pajak memiliki tren bulanan yang spesifik. Jadi kalau kita lihat dalam empat tahun terakhir mulai dari 2022, 2023, sampai 2024 polanya sama, Desember naik cukup tinggi karena ada Nataru akhir tahun dan kemudian menurun di Januari dan Februari, itu sama setiap tahun, jadi tidak ada hal yang anomali, jadi sifatnya normal saja,” ujar Anggito.

Terlepas dari itu, Anggito memperkirakan bahwa tren penerimaan pajak ke depan akan lebih baik. Hal ini melihat berbagai aktivitas ekonomi yang mulai bergeliat.

“Kira-kira ke depannya seperti apa? Kita coba bandingkan dengan PMI, kita juga coba bandingkan dengan data konsumsi listrik untuk industri dan bisnis, itu ada kenaikan di Februari. Jadi kita berharap dan kita melihat kondisi penerimaan khususnya PPh 25 akan membaik,” jelasnya.

(shc/hns)

Membagikan
Exit mobile version