Jakarta –
Jakarta identik dengan gedung tinggi, modernitas, dan kekinian. Di beberapa lokasi, masih ada kampung Betawi yang lestari dengan rumah-rumah tradisionalnya.
Salah satunya di Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan di Jakarta Selatan. Kampung itu menjadi sebuah area yang tepat untuk menumbuhkan wawasan budaya Betawi. Bukan sekadar narasi budaya-sejarah saja yang diperkenalkan, tetapi hal yang sudah sulit dijumpai adalah bangunan khas Betawi.
Pekan lalu, detikTravel diberikan kesempatan untuk ke Kampung Ismail Marzuki atau Zona C kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Di kawasan yang luasnya sekitar 3,2 hektar itu memberikan nuansa yang berbeda seperti perkampungan biasanya.
Ketika berada di kawasan Zona C, detikTravel ditemani oleh salah satu staf Satuan Pelaksana Edukasi, Informasi, dan Pelayanan di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPKPBB) bernama Jaka Yudha. Sembari diajak berjalan-jalan, Bang Jak sapaannya menjelaskan bahwa area itu terbagi tiga.
Area Betawi pinggir, Betawi tengah, dan Betawi pesisir. Tentunya yang membedakan ketiga wilayah Betawi ini terlihat dari bangunan rumahnya, yang paling mencolok jika melihat rumah Betawi pesisir yang rumahnya merupakan rumah panggung dan ciri rumah khas Betawi terdapat beberapa tipe.
Rumah tradisional Betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan (Muhammad Lugas Pribady/detikcom)
|
“Jadi kalau rumah Betawi itu yang paling gampang mengenalinya adalah dari atap. Kalau atapnya ke depan, ke belakang itu bapang, kalau ini ke empat arah, depan, belakang, samping, kiri, samping, kanan itu limasan atau joglo,” kata Bang Jak, sapaan karibnya.
“Itu (rumah) kebaya bedanya itu di samping kiri, samping kanan dia ada atap tambahan, sama kan dia ke depannya, ke belakang,” dia menambahkan.
Perbedaan rumah para pesohor yang dihormati atau juragan sangat jelas kentara. Untuk rumah juragan atau yang dihormati itu, Bang Jak mengatakan, biasanya terdapat saung atau gazebo di halaman depan rumahnya.
“Kan biasanya kalau saudagar atau juragan mereka datang pasti nggak sendiri, ada pengawal, ada bujang yang angkat barang. Nah begitu juragan masuk ke dalam (rumah), mereka diam di ininya (saung) di depan,” kata dia.
|
Adapun ciri untuk masyarakat yang secara ekonominya menengah ke bawah biasanya terdapat di wilayah Betawi pinggir dan atap rumahnya pun hanya mengarah ke samping kiri dan samping kanan rumah.
“Ada satu lagi yang tadi ya kalau bicara untuk kalangan bawah, itu ada namanya rumah gudang. Dulu disebutnya rumah kandang, cuma kayaknya nggak enak banget kalau disebut kandang sekarang disebutnya rumah gudang,” ujar dia.
Sambil mengelilingi kawasan ini, pengunjung akan disuguhkan situasi seperti sedang berada di perkampungan tempo dulu. Suasana hijau dengan terdapat beberapa empang, kandang sapi, kabing, ayam, kebun sungguh memberikan pengalaman baru.
Terlebih untuk generasi muda yang belum pernah mengetahui juga merasakan kampung Betawi tempo dulu. Mayoritas bangunan di kawasan inu terbuat dari kayu, karena menurut Bang Jak menyesuaikan dengan material yang digunakan oleh masyarakat Betawi kala itu.
“Kalau secara umum dia menggunakan kayu pohon nangka, karena kayu nangka katanya salah satu kayu yang kuat, taha keropos. Terus gampang (didapat) karena setiap rumah 90 persen punya pohon nangka,” ujar dia.
|
Zona C itu juga terdapat sumur-sumur jadul yang masih menggunakan katrol dan jungkat-jungkit, reka cipta ini memang mengacu pada perkampungan masyarakat Betawi di masa itu.
Kawasan ini belum bisa diakses secara serentak oleh umum, jika ingin berkunjung masyarakat harus meminta izin terlebih dahulu dengan menjelaskan keperluan yang dituju. Waktu tempat berada di kawasan ini adalah sore hari, karena suara orang mengaji di masjid, hembusan angin, udara sejuk, matahari yang tak terlalu menyengat membuat suasana seperti tempo dulu.
(upd/fem)