Senin, Juli 1

Jakarta

Baru-baru Netflix merilis sebuah film terbaru bernuansa futuristik berbalutkan kisah teknologi kecerdasan artifisial (AI) berjudul “Atlas”. Film ini memperlihatkan sisi gelap AI dan juga kemungkinan kolaborasi dan harmonisasi antara manusia dan AI, melalui teknologi yang disebut “neurolink”.

Atlas, tokoh fiktif dalam film tersebut, menggambarkan skeptisisme sebagian besar umat manusia saat ini terhadap pengembangan kecerdasan artifisial (AI) dan dampaknya pada kehidupan nyata dan masa depan umat manusia. Walaupun sejatinya baik teknologi dalam film tersebut kini sudah ada di sekitar kita, baik itu AI maupun neurolink, yang nama maupun prinsip bekerjanya mirip dengan teknologi neuralink yang dikembangkan Elon Musk.

Bernama lengkap Elon Revee Musk, seorang pebisnis dan investor kenamaan di bidang digital kelahiran 1971 tersebut belum lama berselang mendapatkan kritik keras dari salah satu ilmuwan pakar yang disebut sebagai GodFather AI, Yann Andree LeCun.


Menurut Yann, seperti tertulis dalam akun X / twitternya, bahwa Elon terlalu berlandaskan pada teori konspirasi dan “membesar-besarkan” saat bicara pengembangan AI. Menurut Yann, pengembangan teknologi AI (semestinya) berbasis pada riset dan kajian keilmuan.

Elon melalui akun X / twitternya memang sempat melempar kritik balik dengan mempertanyakan apa sumbangsih ilmuwan seperti Yann dalam pengembangan AI dewasa ini. Apalagi, menurut Elon, Yann “hanyalah” seorang pegawai sebuah korporasi besar yang mesti siap menerima perintah.

Padahal faktanya, Yann yang memang Kepala Ilmuwan AI di Meta, adalah juga seorang Profesor Matematika kenamaan dengan puluhan tulisan karya / teknis ilmiah yang telah diterbitkannya, termasuk soal pengembangan teknologi AI yang kini banyak dilakukan di dunia.

Perdebatan ini menarik, valid dan relevan, menggambarkan bagaimana sudut pandang antara seorang pebisnis dan investor semacam Elon beradu dengan seorang ilmuwan dan peneliti seperti Yann. Teknologi AI mesti secara lengkap oleh berbagai pihak, dari sisi positif maupun negatif dalam pengembangan dan pemanfaatannya.

Pun teknologi AI itu sendiri saat ini, karena berkembang dengan cepat dan nyaris mandiri, maka diproyeksikan suatu ketika akan dapat melampaui kecerdasan dan kontrol manusia. Sejauh mana kita telah bersiap?

AI dan Kesenjangan Digital

Dalam Forum AI for Good Global Summit yang dilaksanakan di Jenewa pada akhir Mei 2024 lalu, disampaikan bahwa umat manusia saat ini tidak akan bisa menghindar dari (perkembangan) teknologi AI. Namun, di balik wacana akan segala kebaikan yang dibawa oleh teknologi ini, kita semua, juga secara global, terus dibayangi resiko dan dampak negatif yang belum dapat terukur jelas.

Perundingan dan perdebatan masih hangat berlangsung di negara-negara Global North pun Global South. Salah satu poinnya adalah tentang bagaimana pengembangan AI yang beretika, tentu saja dengan memahami kondisi dan ekosistem di masing-masing negara yang berbeda-beda.

Di dalam negeri sendiri semisal, di antara wacana besar perkembangan kecerdasan artifisial (AI) dan etika penggunaannya, Indonesia masih dihadapkan pada kondisi kesenjangan infrasktruktur / akses digital, kemampuan literasi digital yang tak sama di tiap wilayah serta bayang-bayang kekhawatiran akan hilangnya pekerjaan karena tergantikan oleh teknologi AI.

Hal tersebut juga tampak pada realita kesenjangan urban dan rural. Wilayah urban dinilai memiliki kesempatan lebih untuk dapat senantiasa mengikuti perkembangan AI dengan lebih baik dibandingkan wilayah rural Indonesia.

Tentu saja salah satu penyebabnya adalah karena forum-forum yang tersedia untuk membahas soal AI lebih banyak berlangsung di wilayah urban ketimbang rural, juga gencarnya pemanfaatan AI dalam berbagai layanan kesehatan, keuangan dan pendidikan di sejumlah kota besar.

AI dan Kejahatan Siber

AI memang mampu menghadirkan cara belajar dan bekerja gaya baru yang lebih efektif dan produktif dengan hasil yang mumpuni bagi penggunanya untuk hal yang kreatif dan positif. Namun di sisi lain, AI dapat pula “memfasilitasi” hal serupa kepada pelaku kejahatan.

Kembali kepada film “Atlas” yang telah disinggung pada awal tulisan ini, terdapat sosok yang dinamakan “Harlan”, teknologi AI dengan kemampuan dan sikap terorisme yang mengancam keamanan umat manusia. Mungkin masih terkesan futuristik, namun kejahatan-kejahatan berbasis teknologi AI sudah marak di sekitar kita.

Pada pertengahan 2023 misalnya, WormGPT, malware berbasis AI telah mampu menghasilkan dan menyebarkan kode berbahaya secara otomatis. Hal ini tentu saja mengejutkan dunia keamanan siber dan menjadi pengingat bahwa teknologi AI memiliki potensi untuk disalahgunakan. Setidaknya berikut ini beberapa kejahatan yang menggunakan teknologi AI, sebagaimana dikutip dari Technology Review.

1. Penyebaran Phising

Phising menjadi kejahatan siber terbesar yang “terbantukan” oleh AI. Pelaku kejahatan phising kini menggunakan teknologi AI, untuk makin menyempurnakan trik kejahatan mereka. Layanan penghasil spam, seperti GoMail Pro misal sudah mengintegrasi ChatGPT di dalam layanannya untuk mempermudah pelaku kejahatan dalam mengalih bahasakan penipuan mereka dan mengirimnya ke para korban.

2. Penipuan Deepfake

Teknologi AI saat ini memungkinkan pelaku kejahatan siber memfabrikasi suara, gambar dan video hingga tampak sangat mirip dengan asli. Dalam tulisan MIT Technology review mengenai kejahatan siber berbasis AI, ditemukan banyak platform yang dengan terbuka menjual layanan deepfake dengan harga yang relatif murah sekitar 160.000,- per gambar.

Di Hongkong, seorang pekerja keuangan di sebuah perusahaan multinasional tertipu untuk membayar US$25 juta (Rp392,97 miliar) kepada penipu yang menggunakan teknologi deepfake dengan menyamar sebagai kepala keuangan perusahaan tersebut.

3. Layanan Jailbreak

Layanan ini memungkinkan pelaku kejahatan melakukan manipulasi sistem AI. Misal menulis kode untuk menciptakan ransomware. Beberapa perusahaan AI, seperti OpenAI dan Google telah secara rutin telah memasang sistem pengamanan untuk mencegah hal ini dapat dilakukan.

4. Doxxing dan Memata-matai (tanpa hak)

AI tidak hanya digunakan untuk phising, namun juga menjadi alat yang banyak digunakan untuk doxxing, misal untuk mengidentifikasi informasi pribadi seseorang secara online. Hal ini karena sistem AI dilatih untuk mengambil data dengan cepat dari internet termasuk data pribadi. Beberapa periset menemukan bahwa beberapa teknologi AI mampu menganalisa informasi sensitif seperti etnisitas, lokasi seseorang dan pekerjaan seseorang.

5. Hoaks / Disinformasi

AI dapat digunakan untuk menghasilkan konten propaganda dan disinformasi yang sangat realistis dan meyakinkan. Konten ini kemudian dapat disebarkan di media sosial dan platform online lainnya untuk memanipulasi opini publik, menyebarkan kebencian, atau mengganggu proses demokrasi.

6. Perilaku Pelecehan

AI dapat digunakan untuk melecehkan individu secara online. AI dapat digunakan untuk menganalisis media sosial dan aktivitas online lainnya untuk mengumpulkan informasi tentang korban, dan kemudian menggunakan informasi tersebut untuk mengirimkan pesan pelecehan atau ancaman. AI juga digunakan dalam merekayasa foto dan video korban.

AI dan Kebaikan Manusia

Tidak melulu menjadi sumber ketakutan, AI juga banyak dikembangkan untuk kebaikan umat manusia. Pada film “Atlas”, dikisahkan bahwa akhirnya teknologi AI digunakan kebaikan untuk kebaikan umat manusia. Selain AI dalam film Atlas tersebut, pengembangan teknologi berbasis AI untuk kebaikan saat ini juga banyak dilakukan di bidang pertanian, perikanan, kesehatan, pendidikan hingga keamanan berbasis AI.

Sebagai contoh, pengembangan AI untuk mendeteksi kanker payudara oleh Google Health yang bekerja sama dengan beberapa rumah sakit di Inggris. Di Indonesia, BRIN juga mengembangkan teknologi inovatif berbasis AI, antara lain: SADEWA untuk memprediksi cuaca, SEMAR untuk perikanan dan cuaca ekstrem di laut, SRIKANDI untuk kualitas udara yang berkaitan dengan sektor kesehatan dan lingkungan, SANTANU untuk pemantauan hujan, JATAYU untuk cuaca penerbangan, SRIRAMA untuk perubahan iklim, KAMAJAYA untuk awal musim yang berkaitan dengan pertanian, INDRA untuk sumber daya air dan GATOTKACA untuk pemantauan kelembaban atau uap air di atas wilayah Indonesia.

Maka, jika kembali pada cuplikan perdebatan antara Elon dan Yann di atas, dapat dikatakan bahwa teknologi AI bukanlah sebuah hal yang dapat atau boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Perlu adanya pelibatan pemangku kepentingan majemuk (multistakeholder), yaitu pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, sektor swasta dan komunitas teknis, guna memastikan pengembangan dan pemanfaatan teknologi AI dapat dilakukan secara beretika, aman dan bertanggung-jawab.

Setiap stakeholder akan memiliki sudut pandang yang beragam dan bisa jadi berbeda dalam menegosiasikan positif vs negatif teknologi AI. Namun bila kita yakini perbedaan dalam negosiasi adalah rahmat, maka pastilah AI akan dapat penuh membawa manfaat.

*) Artikel ditulis oleh Ida Ayu Prasasti, ICT Watch. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail sasti [at] ictwatch.id. ICT Watch berkomitmen terlibat aktif dan bermakna dalam dialog tata kelola Kecerdasan Artifisial (AI).

(fyk/fyk)

Membagikan
Exit mobile version