Jumat, Oktober 18

Jakarta

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Indonesia selalu menantikan Tunjangan Hari Raya atau THR. Pemberian THR ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya saat Lebaran, seperti membeli baju baru atau memberikan ‘salam tempel’ kepada saudara.

Tahun ini, pemerintah telah resmi mengeluarkan kebijakan yang mengatur pemberian THR dan gaji ke-13 melalui PP No.14/2024. Berdasarkan aturan tersebut, pemerintah memberikan THR dan gaji ke-13 kepada aparatur negara, pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan.

Sementara itu, untuk karyawan swasta penerimaan THR paling lambat diberikan pada H-7 Lebaran. Jika Hari Raya Idul Fitri 1445 H/2024 diprediksi jatuh pada 10 atau 11 April, maka karyawan swasta telah menerima THR paling lambat 3-4 April.


Nah, sudah tahu belum kalau THR telah diberikan kepada masyarakat sejak puluhan tahun silam? Lalu seperti apa sejarah THR di Indonesia? Simak dalam artikel ini.

Sejarah THR di Indonesia

Ada sejarah yang cukup panjang mengenai pemberian THR. Dilansir situs sptsk-spsi.org, THR mulai diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1950-an. Orang pertama yang memperkenalkan THR adalah Perdana Menteri dari Masyumi, Soekiman Wirjosandjojo.

Sedikit informasi, Soekiman Wirjosandjojo menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia kenam pada 27 April 1951 sampai 3 April 1952. Kabinet yang dipimpinnya dikenal dengan nama ‘Kabinet Sukiman-Suwirjo’.

Nah, salah satu program yang diusung dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo adalah meningkatkan kesejahteraan terhadap pegawai atau aparatur negara. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Soekiman adalah memberikan tunjangan kepada Pamong Pradja (sekarang PNS) menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Di tahun itu, perekonomian dalam negeri sedang dalam kondisi stabil. Alhasil, kebijakan Soekiman bisa terwujud dengan memberikan tunjangan hari raya. Saat itu, besaran tunjangan oleh pemerintah sebesar Rp 125 hingga Rp 200 (setara Rp 1.100.000-Rp 1.750.000 saat ini).

Buruh Juga Ingin Mendapat Tunjangan

Pada 13 Februari 1952, kaum pekerja/buruh melakukan protes karena tunjangan hanya diberikan kepada Pamong Pradja. Kaum pekerja/buruh protes dan menuntut untuk mendapatkan tunjangan yang nominalnya sama seperti pekerja Pamong Pradja.

Tuntutan para pekerja/buruh akhirnya membuahkan hasil. Pada 1954, Menteri Perburuhan Indonesia mengeluarkan surat edaran tentang ‘Hadiah Lebaran’. Hal ini dilakukan untuk menghimbau setiap perusahaan agar memberikan ‘Hadiah Lebaran’ untuk para karyawannya sebesar seperdua-belas dari upah yang didapat.

Pada 1961, surat edaran yang semula bersifat himbauan kemudian berubah menjadi peraturan menteri tetap. Peraturan tersebut mewajibkan perusahaan untuk memberikan ‘Hadiah Lebaran’ kepada pekerja yang minimal telah bekerja selama tiga bulan.

Aturan Resmi Mengenai THR

Meski tunjangan atau ‘Hadiah Lebaran’ telah diberikan sejak 1950-an, namun peraturan resmi mengenai THR baru keluar puluhan tahun kemudian setelah rezim berganti. Di bawah Orde Baru, Menteri Tenaga Kerja menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.

Adanya aturan tersebut, maka istilah ‘Hadiah Lebaran’ telah berganti menjadi Tunjangan Hari Raya (THR). Adanya aturan itu juga maka hak karyawan mendapat THR Lebaran memiliki payung hukum yang jelas.

Peraturan Mengenai THR Kembali Disempurnakan

Pada 2003, pemerintah melakukan penyempurnaan terhadap peraturan THR dengan terbitnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Peraturan itu mengatur bahwa pegawai yang telah bekerja lebih dari tiga bulan wajib mendapatkan tunjangan.

THR yang diterima juga disesuaikan dengan lamanya masa kerja. Sedangkan untuk pekerja yang sudah bekerja selama setahun mendapat THR sebesar satu bulan gaji kerja.

Pada 2016, aturan mengenai THR kembali disempurnakan. Menurut Permenaker No. 6 Tahun 2016, THR Keagamaan adalah pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.

Dalam situs Kemnaker, THR Keagamaan dibayarkan sesuai hari raya keagamaan pekerja/buruh, kecuali ditentukan lain dalam aturan perusahaan. THR Keagamaan wajib diberikan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

Dalam Permenaker No. 6 Tahun 2016, berikut karyawan yang berhak mendapatkan THR:

  • Pekerja/buruh yang memiliki hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih.
  • Pekerja/buruh PKWTT yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) terhitung H-30 hari sebelum hari raya keagamaan.
  • Pekerja/buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut.

Dalam peraturan tersebut, diatur juga besaran THR Keagamaan yang didapat, yakni sebagai berikut:

  • Satu bulan upah. Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih.
  • Proporsional. Bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan.
  • Perhitungan upah sebulan. Pemberian upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages), atau pemberian upah pokok termasuk tunjangan tetap.
  • Sesuai ketetapan perusahaan. Jika THR yang ditetapkan perusahaan besarannya lebih tinggi dibanding besaran THR yang diatur pemerintah.

Itu dia sejarah mengenai THR Lebaran atau THR Keagamaan di Indonesia. Semoga artikel ini dapat menambah pengetahuan detikers!

Simak Video “Awas! Perusahaan yang Tak Beri THR Bisa Kena Denda
[Gambas:Video 20detik]
(ilf/fds)

Membagikan
Exit mobile version