Senin, September 30


Sleman

Jembatan Plunyon Kalikuning semakin populer di kalangan wisatawan setelah muncul sebagai latar ikonik dalam film “KKN Desa Penari”. Jembatan itu memiliki sejarah panjang dan berperan penting dalam irigasi lokal hingga kemudian menjadi destinasi wisata.

“Plunyon Kalikuning dibangun untuk irigasi sekitar tahun 1982-1983,” kata Sarjiman, pengelola Plunyon Kalikuning saat ditemui detikTravel.

Dulu, jembatan ini dibuat oleh warga setempat, bukan oleh Belanda seperti yang banyak orang kira. Fungsi utamanya adalah untuk mengalirkan air ke sawah-sawah dan ternak di daerah sekitarnya.


Plunyon sendiri diambil dari kata lunyu, yang dalam bahasa Jawa berarti licin. Hal tersebut disebabkan batu di situ sangat licin. Namun, letusan Gunung Merapi tahun 2010 yang dahsyat telah mengubah wajah Plunyon Kalikuning.

“Dulu, batu di sini sangat licin, tetapi setelah erupsi, semuanya tertutup pasir sehingga berubah bentuk. Warna air di Kali Kuning pun berubah, dari kuning keruh menjadi lebih jernih setelah tertutup batu dan pasir,” kata Sarjiman.

Selain itu, letusan juga merusak beberapa bagian jembatan, termasuk pagar besinya yang akhirnya diperbaiki pada tahun 2018.

Sejak tahun 2016, Plunyon Kalikuning mulai dikelola oleh Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan pengunjung dikenakan tiket masuk.

“Kami mulai memungut tiket dari tahun 2016. Tiket ini membantu dalam pemeliharaan dan pengelolaan tempat ini, termasuk perbaikan fasilitas dan kebersihan area,” ujarnya.

Saat ini, irigasi masih berjalan dan airnya juga dimanfaatkan oleh PDAM untuk kebutuhan masyarakat Sleman dan Yogyakarta melalui pipa-pipa besar.

Film “KKN Desa Penari” yang mengambil lokasi syuting di Plunyon Kalikuning telah memberikan dampak signifikan terhadap jumlah pengunjung. Proses syuting itu memerlukan izin khusus sebesar Rp 10 juta dan persiapan yang memakan waktu lima hari, dengan syuting dilakukan selama satu hari satu malam.

“Sebelum dipakai syuting, tempat ini tidak seramai sekarang,” ujar Sarjiman.

Seiring dengan peningkatan jumlah pengunjung, beberapa masalah juga mulai muncul, termasuk kerawanan longsor dan kondisi taman yang mulai lapuk.

“Tamannya sudah lapuk dan ini sudah kami laporkan tetapi belum ada respon. Sudah setahunan,” ujar Sarjiman.

Plunyon Kalikuning menyuguhkan pemandangan indah Gunung Merapi yang paling jelas terlihat di pagi hari sekitar pukul 07.00. Dengan pengelolaan yang baik dan perhatian terhadap keselamatan, diharapkan Plunyon Kalikuning dapat terus menjadi destinasi wisata yang menarik bagi pengunjung sambil tetap mempertahankan fungsi irigasinya yang vital bagi masyarakat sekitar.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version