Kamis, November 28


Jakarta

Pemprov Bali mencatat penerimaan Rp 287 miliar dari pungutan wisatawan asing sejak 14 Februari 2024. Rahmi Fajar Harini, cofounder of Eco Tourism Bali, menyarankan agar sebagian dana itu dianggarkan untuk mengelola sampah di Pulau Dewata.

Penerimaan itu didapatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dari pungutan wisatawan asing (PWA) yang berkunjung sejak diberlakukan pada 14 Februari hingga September 2024. Nominal pungutan yang harus dibayarkan oleh per satu orang turis asing senilai USD 10 atau Rp 150 ribu.

Dinas Pariwisata Bali mencatat angka tersebut baru berasal dari dari 40 persen wisatawan mancanegara yang datang ke Bali dalam periode itu. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), total jumlah wisatawan asing ke Pulau Dewata sekitar 4,7 juta orang. Artinya, masih ada 60 persen wisman yang belum membayar pungutan.


Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan bagi Wisatawan Asing untuk Pelindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali disebutkan pungutan itu digunakan untuk pelindungan adat, tradisi, seni-budaya, serta kearifan lokal masyarakat Bali, kemudian pemuliaan serta pemeliharaan kebudayaan dan lingkungan alam yang menjadi daya tarik wisata di Bali, peningkatan kualitas pelayanan dan penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali, dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan dan pengelolaan hasil pungutan bagi wisatawan asing.

Sayangnya, saat ini Bali sedang disorot justru karena dinilai penyelenggaraan kepariwisataannya kurang sip sampai masuk dalam jajaran destinasi wisata yang tidak layak dikunjungi 2025 oleh Fodor’s. Bali dinilai mengabaikan identitas budaya dan lingkungan demi menjamu wisatawan asing. Sampah di Bali juga sangat mengerikan sampai-sampai dijuluki kiamat plastik.

Rahmi Fajar Harini, cofounder of Eco Tourism Bali (dok. pribadi)

Rahmi mengatakan persoalan sampah di Bali tidak bisa diabaikan lagi, bahkan sudah seharusnya dimasukkan dalam prioritas kerja pemerintah Provinsi Bali.

“Wisatawan yang datang semakin banyak, populasi di Bali bertambah, tetapi solusi untuk sampah di Bali tidak ditingkatkan, itu masalah besar. Siapapun nanti yang terpilih pada Pilkada dan semua pemangku kepentingan, masalah sampah sudah sangat mendesak,” kata Rahmi dalam perbincangan dengan detikTravel, Kamis (28/11/2024).

“Dana sudah ada, APBD untuk pengelolaan sampah sudah ada, bisa ditambah dari pungutan turis asing itu. Sampai saat ini sudah lebih dari Rp 100 miliar, seharusnya itu bisa digunakan,” ujar Rahmi.

Dia juga menyebutkan sejumlah langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah agar sampah teratasi. Kebijakan juga ada, tinggal political will-nya harus ada juga

“Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur, pengangkut sampah yang sesuai dengan jalanan sempit di Bali, penggunaan plastik sekali pakai, insentif kepada yang sudah melakukan langkah peduli sampah. Contohnya sudah banyak, daerah lain atau pun komunitas di Bali,” kata Rahmi.

Rahmi menilai edukasi kepada pemerintah dan warga juga penting. Sebab, ada perubahan kebiasaan warga dalam menggunakan kemasan dan persembahan keagamaan.

Selain itu perlu dibuat edukasi untuk semua kalangan, pemerintah, warga, dan kepada wisatawan.

“Kalau bicara kebiasaan di pasar dan seremoni, dulu 20-30 tahun lalu, semua masih menggunakan kemasan persembahan yang degradable. tetapi kini banyak coffeshop, jajan pasar yang dikemas dengan plastik, permen dibungkus plastik, termasuk persembahan yang cepat saja. Dulu enggak. Dan, itu dilakukan per orang per hari. Makanya, itu menjadi sumber sampah yang lumayan tinggi,” dia menjelaskan.

“Dulu ada Pergup penggunaan plastik sekali pakai, sedikit bisa menekan penggunaan plastik, tetapi disikapi dengan kantong belanja yang dijual massal. Jadi, kalau lupa bawa langsung beli, lama-lama jadi sampah juga. Artinya, warga belum menyadari mereka part of solution soal sampah ini,” dia menegaskan.

Kemudian, edukasi perlu diberikan kepada pengusaha pariwisata, termasuk hotel dan restoran, serta kafe. Kemasan plastik dan memilah sampah sudah semestinya menjadi sebuah keharusan pada tempat-tempat itu.

“Hotel, restoran, dan kafe harus memilah sampah dan sudah semestinya untuk masing-masing mampu mengelola sampah organik. Sudah banyak percontohan pengelolaan sampah organik. Bisa jadi pakan, kompos, dll. Untuk sampah anorganik dipisahkan. Akan lebih baik jika pemerintah mampu memberikan insentif dan solusi sampah anorganik itu dibawa ke mana dan diapakan,” Rahmi menegaskan.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version