Minggu, April 27

Jakarta

Ilmu sains membahas mengenai fenomena hampir mati (NDE) alias dekat dengan sakaratul maut. Fenomena ini bukan sekadar halusinasi, kata sejumlah ilmuwan.

Sering dilaporkan oleh penderita serangan jantung setelah resusitasi, penglihatan dan sensasi tertentu. Menurutnya, ada penjelasan dari respons evolusi terhadap ancaman kematian, menurut penulis sebuah studi baru.

NDE sering disebut sebagai ‘episode kesadaran terputus’ yang terjadi saat menghadapi ancaman fisik aktual atau potensial. Para peneliti menggabungkan semua data mereka mengusulkan model yang menggabungkan teori-teori terdahulu.


Dijuluki Teori Psikologi Evolusioner Neurofisiologis yang Memahami Pengalaman Mendekati Kematian (NEPTUNE), model tersebut menunjukkan bahwa NDE dimulai saat kadar oksigen turun di otak sementara konsentrasi karbon dioksida meroket. Hal ini yang mengakibatkan asidosis serebral.

Ini kemudian memicu reaksi berantai yang menyebabkan peningkatan rangsangan saraf di wilayah otak utama, termasuk persimpangan temporoparietal dan lobus oksipital, disertai dengan pelepasan neurotransmiter endogen secara besar-besaran.

Melansir IFLScience, peningkatan sinyal serotonin mungkin bertanggung jawab atas ‘halusinasi visual yang jelas’ yang menjadi ciri khas NDE. Sementara lonjakan kadar endorfin dan GABA diteorikan dapat menghasilkan perasaan damai yang mendalam saat mengalami NDE.

Pada saat yang sama, para peneliti mengatakan luapan dopamin dapat menjelaskan perasaan hiperrealitas yang mendalam yang terkait dengan halusinasi ini.

Mencari dasar evolusi untuk mekanisme ini, penulis studi menyarankan bahwa NDE mungkin merupakan bagian dari kaskade pertahanan yang dipicu oleh respons neurofisiologis terhadap ancaman ketika respons perilaku melawan-atau-lari (fight-or-flight ) tidak lagi memungkinkan.

Dalam situasi seperti itu, mereka mengatakan, orang dapat memasuki kondisi disosiasi mental, yang memungkinkan perhatian difokuskan pada fantasi yang berorientasi internal, untuk membantu mereka mengatasi dan bertahan hidup dalam situasi yang mengancam jiwa.

Ini mungkin menjelaskan mengapa individu tertentu tampak lebih rentan terhadap NDE daripada yang lain. Mereka menunjukkan kecenderungan lebih tinggi untuk disosiasi atau melamun juga lebih mungkin melihat cahaya putih ketika menghadapi ancaman eksistensial.

Selain itu, para peneliti mencatat bahwa NDE juga lebih umum terjadi pada orang-orang yang secara khusus cenderung mengalami intrusi REM, di mana aktivitas otak yang terkait dengan mimpi terjadi saat terjaga. Ciri khusus ini dikatakan berpotensi berkontribusi pada fitur-fitur utama NDE, termasuk persepsi cahaya yang tidak biasa, euforia, sampai sensasi keluar dari tubuh.

“Meskipun kami berupaya mengembangkan model yang komprehensif, beberapa pertanyaan tetap ada: misalnya, kombinasi apa dari proses-proses yang disebutkan di atas yang diperlukan dan/atau cukup untuk memicu NDE?” tulis peneliti.

Selain itu, meskipun model NEPTUNE dapat membantu mengungkap aspek-aspek tertentu dari NDE, model tersebut tidak menjelaskan elemen-elemen lain seperti prekognisi, di mana mereka yang menjalani pengalaman tersebut dianggap jadi bisa meramal. Studi tersebut dipublikasikan dalam jurnal Nature Reviews Neurology.

(ask/afr)

Membagikan
Exit mobile version