Sabtu, Oktober 5

Jakarta

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membeberkan alasan mengapa revisi Undang-undang Penyiaran harus dilakukan. Salah satunya ialah mereka mengaku kesulitan mencari referensi aturan di undang-undang, ketika dihadapi konflik di zaman sekarang.

“Dalam setiap konflik-konflik penyiaran, kita sulit mencari rujukan, karena di undang-undang tidak ada. Kebutuhan penyiaran sekarang tidak ada di undang-undang lama,” ungkap Koordinator Bidang Kelembagaan KPI, I Made Sunarsa, dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar di AONE Hotel Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Oleh karena itu, Sunarsa melanjutkan, secara historis sosiologi, menurutnya penting untuk merevisi UU Penyiaran ini. Selain itu, alasan lainnya datang dari keberlangsungan hidup Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).


“Ada UU No 23 tahun 2014. Atas UU ini muncul PP 18/2016, isinya tahu nggak? Tidak menjadikan KPI di daerah itu sebagai kongruen. Bayangkan UU ini menghancurkan KPID, kemudian terdegradasi karena tidak lagi nyangkut di daerah,” ucap Sunarsa.

Dirinya juga bercerita, bahwa KPI punya 9 pasal di UU Penyiaran tahun 2002 yang dikoreksi oleh UU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya diungkapkan, seperti pasal 2 dan pasal 33 dihapus, serta pasal 34 direvisi.

Katanya, itu menghilangkan hampir setengah kewenangan KPI berkaitan dengan surat perizinan penyiaran. Sunarsa mengungkapkan, kalau dulu, sebelum TV punya program siaran baru, harus melalui proses evaluasi.

“Sekarang apa yang terjadi TV-TV tanpa kita tahu siarannya dulu. Kalau dulu nggak boleh,” jelas Sunarsa.

“Lalu muncul kewenangan yang ditambahkan dengan adanya digitalisasi penyiaran. Nggak bisa kita buat sendiri tanpa ada revisi undang-undang,” tambahnya.

Nah ia bilang, di RUU baru ini nantinya akan merevisi UU Penyiaran dan akan diformulasikan kembali kewenangan KPI. Sunarsa menegaskan bahwa RUU tidak hanya berbicara tiga pasal yang dipermasalahkan. Di sini juga berbicara tentang penguatan lembaga, penguatan penyiaran, dan penguatan rating.

Sebelumnya diberitakan, Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas, mengatakan revisi Undang-Undang Penyiaran lewat RUU yang baru untuk sementara tak dibahas di DPR. Dewan Pers meminta RUU Penyiaran tidak sekadar ditunda, tapi dirombak khususnya pasal-pasal yang memberangus kebebasan pers.

“Tentu bukan hanya sekedar ditunda, tapi di-take-down pasal-pasal yang memberangus kemerdekaan pers, di antaranya Pasal 8A dan 42 tentang kewenangan KPI terkait penyelesaian sengketa jurnalistik, serta pasal 50B terkait larangan jurnalisme investigasi,” ucap Yadi (28/5).

Simak Video “Dewan Pers Secara Tegas Tolak Draft RUU Penyiaran
[Gambas:Video 20detik]

(hps/fay)

Membagikan
Exit mobile version