Jumat, Januari 10


Jakarta

Perundingan Indonesia-EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) masih berproses. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto proses negosiasi sudah dilakukan sejak 7 tahun.

Airlangga mengatakan proses perundingan IEU-CEPA sudah dilakukan sebanyak 18 kali, dan menilai Uni Eropa kerap berubah-ubah dalam menentukan sikap.

“Kemudian kita masih finalisasi penandatanganan IEU-CEPA. Ini kita sudah negosiasi 7 tahun, 18 kali perundingan dan nggak selesai-selesai, karena Eropa selalu berubah,” ujar Airlangga dalam seminar ekonomi Perspektif Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi: Menuju Indonesia Emas 2045 di Sport Hall Kolese Kanisius, Jakarta, Sabtu (11/5/2024).


Selain itu di tengah negosiasi yang dilakukan, komoditas andalan Indonesia seperti nikel dan sawit justru diperkarakan di WTO. Hingga kini Indonesia masih berkasus dengan Eropa.

“Dan dalam rangka mereka melakukan negosiasi dengan Indonesia, dua komoditas andalan kita diganggu di WTO, nikel maupun sawit. Kita masih berkasus dengan Eropa,” imbuhnya.

Airlangga mengatakan produk nikel saat ini sama dengan rempah-rempah abad ke-16. Saat itu Eropa tidak mempertanyakan proses atau asal usul produk tersebut dihasilkan, tapi kini mereka melakukannya untuk produk nikel, sawit, karet dan lainnya.

Oleh karena itu Airlangga sikap Uni Eropa terhadap nikel dan sawit Indonesia tidak rasional.

“Tapi nggak apa-apa karena dari dulu kita dengan Eropa, saya katakan sama mereka, nikel hari ini sama dengan spices abad 16/ Jadi kalau abad 16 mereka tidak mempersoalkan traceability, sekarang hari ini mereka menanyakan traceability dari kakao, kopi, karet, sawit, tapi abad 16 mereka tidak tanya spices itu dari mana saja, dan impor kopi itu dari mana,” bebernya.

“Jadi kadang-kadang mereka irasional, Indonesia protes,” tambahnya.

Airlangga menyebut dirinya sudah bertemu parlemen Uni Eropa dan perwakilan pemerintah membicarakan hal ini. Ia menekan Uni Eropa bersikap adil terhadap Indonesia, dan mengingatkan bahwa regulasi harusnya dibuat untuk mengatur negara sendiri, bukan negara lain.

Selain itu, Indonesia juga memiliki perjanjian dagang Indonesia dan European Free Trade Association (EFTA), yaitu negara-negara seperti Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia. Perjanjian dagang tersebut bernama Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA).

Dalam perjanjian tersebut juga memuat komoditas sawit. Oleh karena itu Airlangga menilai tidak masuk akal jika Uni Eropa masih mempermasalahkan sawit.

“Bahkan dengan Eropa, dengan Swiss ada yang namanya EFTA. EFTA ada komponen sawit, dan itu direferendum oleh masyarakat Swiss, dan referendumnya lolos. Jadi tidak masuk akal EU masih ganggu kita di nikel maupun di kelapa sawit,” pungkasnya.

(ily/hns)

Membagikan
Exit mobile version