Jumat, Januari 10


Jakarta

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menilai langkah Uni Eropa (UE) menjegal sejumlah komoditas Indonesia sebagai tindakan yang tidak masuk akal. Beberapa komoditas seperti sawit hingga kopi dipersulit masuk Uni eropa, sementara perkara nikel digugat ke World Trade Organization (WTO).

Padahal, produk-produk tersebut bisa masuk ke negara Eropa selain anggota UE. Produk sawit menjadi salah satu komponen dalam perjanjian dagang Indonesia dan European Free Trade Association (EFTA), Selain itu, Indonesia juga memiliki perjanjian dagang Indonesia dan European Free Trade Association (EFTA), yaitu negara-negara seperti Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia

“Bahkan dengan Eropa, dengan Swiss ada yang namanya EFTA. EFTA ada komponen sawit, dan itu referendum oleh masyarakat Swiss, dan referendumnya lolos. Jadi tidak masuk akal EU masih ganggu kita di nikel maupun di kelapa sawit,” katanya dalam seminar ekonomi Perspektif Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi: Menuju Indonesia Emas 2045 di Sport Hall Kolese Kanisius, Jakarta, Sabtu (11/5/2024).


Upaya penjegalan yang dilakukan Uni Eropa dilakukan di tengah proses penyelesaian Perundingan Indonesia-EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) yang belum rampung meski sudah berjalan 7 tahun. Airlangga juga mencatat sudah ada perundingan yang dilakukan sebanyak 18 kali.

“Dan dalam rangka mereka melakukan negosiasi dengan Indonesia, dua komoditas andalan kita diganggu di WTO, nikel maupun sawit. Kita masih berkasus dengan Eropa,” imbuhnya.

Padahal, ia menilai produk nikel saat ini sama dengan rempah-rempah abad ke-16. Saat itu Eropa tidak mempertanyakan proses atau asal usul produk tersebut dihasilkan, tapi kini mereka melakukannya untuk produk nikel, sawit, karet dan lainnya. Oleh karena itu ia menyebut Uni Eropa bersikap irasional.

“Tapi nggak apa-apa karena dari dulu kita dengan Eropa, saya katakan sama mereka, nikel hari ini sama dengan spices abad 16/ Jadi kalau abad 16 mereka tidak mempersoalkan traceability, sekarang hari ini mereka menanyakan traceability dari kakao, kopi, karet, sawit, tapi abad 16 mereka tidak tanya spices itu dari mana saja, dan impor kopi itu dari mana,” bebernya.

“Jadi kadang-kadang mereka irasional, Indonesia protes,” pungkasnya.

(ily/hns)

Membagikan
Exit mobile version