Jakarta –
Seorang aktor berusaha melebarkan sayapnya ke bisnis kuliner. Sayang, baru berjalan 2 tahun restorannya tutup gegara merugi hingga Rp 20 miliar.
Menjalankan sebuah bisnis butuh mental yang kuat dan perhitungan yang tepat. Tidak hanya dalam mengendalikan biaya operasional, tetapi kebutuhan tersier juga harus disesuaikan dengan kondisi keuangan bisnis.
Pertimbangan untuk renovasi sekadar menarik perhatian pelanggan harus melalui banyak pertimbangan. Jangan sampai memenangkan ego pemilik untuk menghadirkan restoran yang bagus, tetapi tak mampu membuat operasional restoran tetap bertahan.
Hal ini yang dialami dan disesali oleh aktor asal Singapura, Ben Yeo. Dilaporkan oleh CNA Lifestyle (3/1) ia bersama keempat rekan bisnisnya memulai karir sebagai pemilik restoran sejak November 2022.
Baca juga: Belum Makan Seharian, Ojol Ini Terharu Dapat Nasi Bungkus Gratis
Melebarkan sayap dengan membuka restoran Chinese, aktor ini gagal pertahankan bisnisnya. Foto: CNA Lifestyle
|
Restoran tersebut bernama Tan Xiang Yuan yang menyajikan olahan ikan, seafood, hingga bebek bergaya Chinese. Awal mendirikan restoran ini Yeo dan rekannya sudah menentukan target untuk balik modal pada tahun kedua.
Alih-alih mendapatkan untung, ia justru memutuskan untuk menutup restoran yang berada di Dickson Road, Singapura itu. Alasannya bukan karena pembengkakan produksi, harga bahan makanan yang tinggi, atau tenaga kerja.
Yeo menyatakan keputusan renovasi yang dilakukannya menjadi masalah besar. Pembangunan pertama restoran ini saja sudah memakan biaya hingga Rp 11 miliar ditambah biaya renovasi yang menyentuh angka Rp 9,4 miliar.
“Kesalahan kami adalah mengeluarkan biaya terlalu banyak untuk renovasi. Sangat sulit rasanya untuk memperbaiki keuangan. Jika kami menggunakan dana yang lebih sedikit, mungkin kami akan tetap beroperasi,” sesal Yeo.
|
Faktor lainnya ia juga menyesali pemilihan lokasi dan konsep menu yang dihidangkan tidak cocok. Restoran bergaya Chinese miliknya menempati suatu bangunan yang berada di kawasan Little India, Singapura. Tentu sangat berbanding terbalik antara keduanya.
“Saat bisnis sedang baik sekalipun, kami menghasilkan uang tetapi tak terlalu menguntungkan, tidak luar biasa. Pada bulan-bulan yang buruk, kerugian besar kami tanggung, bisa mencapai Rp 200 – Rp 400 juta per bulan,” lanjut Yeo.
Pertimbangan terberat Yeo adalah harus memberhentikan para pekerja yang telah berjuang sejak tahun pertama. Ia ingat betul, sempat menjanjikan bahwa tahun kedua harus bersama-sama bangkit bersama seluruh karyawannya.
Sayangnya nasib baik belum berpihak pada Yeo, daripada merugi lebih banyak ia telah menetapkan tanggal 12 Februari mendatang sebagai hari terakhir untuk melayani pelanggan. Awalnya ia ingin segera menutup restoran pada bulan Desember, tetapi akibat permintaan pelanggan yang masih setia dengannya perayaan Imlek akan menjadi kenangan terakhir bagi restoran Yeo.
(dfl/adr)