Senin, Juli 1


Gianyar

Tak hanya menjadi tempat suci, Pura Agung Gunung Raung di Desa Taro menyimpan kisah spiritual tentang perjalanan Maha Rsi Markandeya di Pulau Dewata. Konon, pura ini kerap digunakan buat mereka yang tengah bimbang membuat keputusan dan solusi.

Pura Agung Gunung Raung tak hanya menyajikan pura sebagai tempat suci agama Hindu, namun memasuki pura ini traveler akan diajak untuk menjelajah kembali perjalanan Rsi Markandeya di Bali. Markandeya merupakan sosok di balik berdirinya Desa Taro, desa tertua di Bali.

Traveler bisa menemukan beberapa bangunan suci yang masih alami, tanpa sentuhan cat satu pun.


Pura Agung Gunung Agung, Desa Taro, Gianyar, Bali (Ni Made Nami Krisnayanti/detikcom)

Berikut tentang Pura Agung Gunung Raung

1. Sejarah Pura Agung Gunung Raung

Sejarah pura yang agung di Desa Taro ini berawal dari abad ke-7, ketika Maha Rsi Markandeya melakukan perjalanan dari India. Maha Rsi Markandeya melintasi Jawa Timur dalam rangka menyebarkan ajaran Hindu ke Pulau Bali.

Ketika Maha Rsi Markandeya menetap di Gunung Raung, Jawa Timur, beliau melihat sinar suci dari arah timur dan menelusuri sumber cahaya. Ternyata sinar suci tersebut berasal dari sebuah pohon. Rsi Markandeya melihat bahwa pohon yang bersinar itu ternyata adalah tengah-tengahnya Pulau Bali.

Rsi Markandeya melakukan perabasan hutan hingga mendirikan sebuah pura bernama Pura Sabang Daat. Dari pura ini, Rsi Markandeya melihat ke arah selatan dan melakukan pemetaan untuk daerahnya.

“Pohon yang menyala itu, Rsi Markandeya itu memutuskan bahwa pohon itu terletak di tengah-tengahnya Pulau Bali. Akhirnya beliau melakukan perabasan hutan hingga mendirikan pura yang bernama Pura Sabang Daat,” ujar Ardika.

“Dari Pura Sabang Daat itu, beliau mececingak atau melihat ke arah selatan yang sekarang dikenal dengan Amunduk Taro. Beliau memetakan dan memikirkan dimana yang cocok untuk hutan, pemukiman, dan pertanian,” Ardika menambahkan.

Kedatangan pertama Rsi Markandeya ke Pulau Bali mengalami kegagalan karena banyak pengikutnya yang tewas akibat terserang penyakit dan binatang buas. Akhirnya Rsi Markandeya kembali melakukan semedi di Gunung Raung, hingga mendapatkan wahyu untuk menanam ‘panca datu’ di Giri Tohlangkir, yang sekarang dikenal dengan Pura Basukian.

Setelah melakukan penanaman Panca Datu, Rsi Markandeya kembali ke Amunduk Taro untuk melakukan perabasan hutan, membuat sistem irigasi, dan membuat sistem desa adat.

Tempat Rsi Markandeya untuk melakukan sangkep atau musyawarah itulah yang menjadi Pura Agung Gunung Raung. Di pura ini terdapat balai panjang yang bernama Balai Agung, sebagai tempat untuk mengambil keputusan penting tentang Bali.

Nama Gunung Raung sendiri diambil dari gunung tertinggi di Jawa Timur, menggambarkan asal Maha Rsi Markandeya yang pernah tinggal di sana sebelum melanjutkan perjalanannya ke Bali dan menetap di desa Taro.

“Penamaan Gunung Raung ini karena perpindahan Rsi Markendya yang membawa semua perlengkapannya dari Gunung Raung dan saat itu gunung yang tertinggi adalah Gunung Raung yang juga tempat Rsi Markendya tinggal sebelumnya,” kata Ardika.

2. Keunikan Pura Agung Gunung Raung

Tak hanya sebagai tempat suci Agama Hindu, Pura Agung Gunung Raung juga menyimpan sejarah spiritual Bali. Menurut Ardika, Pura Gunung Raung memiliki beberapa keunikan.

Sebelum memasuki pura ini, traveler akan melihat ‘titi gonggang’ yang berguna untuk menetralisir keinginan dan sifat buruk sebelum memulai persembahyangan.

Pura Agung Gunung Raung juga memiliki empat pintu masuk yang terletak di timur, utara, selatan, dan barat yang menandakan bahwa pura ini berada di tengah-tengah. Biasanya umat Hindu yang melakukan persembahyangan menghadap ke timur, sedangkan di pura ini persembahyangan menghadap ke barat.

“Sembahyang di pura ini unik karena menghadap ke barat, kalau biasanya kan menghadap ke timur atau utara. Karena padmasana di pura ini terletak di tengah, kemanapun arahnya itu tetap menghadap ke padmanasa,” ujar Ardika.

Keunikan Pura Agung Gunung Raung juga terletak dari desain dan arsitekturnya. Menurut Ardika, pembangunan pura ini sama sekali tidak menggunakan pewarna atau cat. Bangunan pura ini terlihat alami menggunakan kayu dan batu saja.

Memasuki pura, traveler juga bisa menemukan beberapa peninggalan sejarah. Contohnya seperti kulkul atau kentongan yang terbuat dari tangkai bunga selegui yang berukuran raksasa. Dipercaya, tangkai bunga itu jatuh di Pura Agung Gunung Raung dan berasal dari pohon yang ditebang di Pulau Jawa. Traveler juga bisa menemukan sebuah patung dari Ida Rsi Markandeya.

Menurut Ardika, Pura Agung Gunung Raung dipercaya sebagai pura untuk mencari solusi, bahkan masih dipercaya hingga saat ini.

“Kalau di pura ini dipercaya sebagai pura mencari solusi. Pura ini merupakan pasraman Rsi Markandeya dan setiap memutuskan hal besar pasti sembahyang di pura ini. Bahkan, saat sekarang pun warga kami kalau sangkepnya tidak mendapatkan solusi, pasti sembahyang dan mengambil keputusan di sini,” tutur Ardika.

3. Lokasi dan Harga Tiket Masuk Pura Agung Gunung Raung

Pura Agung Gunung Raung berlokasi di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Traveler yang ingin masuk ke dalam pura tak dikenakan tiket, melainkan traveler bisa memberikan donasi atau dana punia.

Untuk masuk, traveler juga diharapkan mematuhi beberapa aturan. Tidak sedang haid atau datang bulan, wajib menggunakan pakaian adat Bali, dan wajib ada izin dari pemuka agama. Traveler yang tak memiliki pakaian adat Bali, bisa melakukan penyewaan pakaian adat di sekitar pura.

Andika juga menuturkan beberapa pantangan yang tak boleh dilakukan di Pura Agung Gunung Raung yaitu wanita yang sedang hamil dan anak-anak yang belum tanggal gigi tidak boleh masuk melalui pintu timur.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version