Jumat, Oktober 18


Bandung

Belakangan ini, viral kasus pungli di sejumlah tempat wisata di Jawa Barat. Menurut Sosiolog Unpad, maraknya pungli di Jabar itu ada faktor pemicunya. Apa saja?

Serangkaian kasus pungli terjadi di objek wisata Jawa Barat, mulai dari Masjid Raya Al Jabbar, kebun teh Kertasari, hingga curug Ciburial.

Sosiolog Unpad, Budi Rajab mengatakan, maraknya praktik pungli di Jawa Barat, salah satunya diakibatkan oleh penegakan hukum yang lemah.


“Pemerintah harus menindak, jangan dibiarkan, karena akan terjadi di tempat lain. Pemerintah jika diam dan tidak bergerak itu salah,” kata Budi kepada Rabu (8/5).

Menurut Budi, masyarakat yang melakukan praktik pungli itu untuk mencari uang, namun tidak melihat aturan. Mereka menganggap, yang penting mencari uang, tanpa peduli harus merugikan orang lain.

“Itu orang yang mencari uang, tidak ada aturan yang penting cari uang. Pungli nggak ada legalnya, semua ilegal. Cari duit memanfaatkan kendaraan yang melintas,” ujarnya.

Menurut Budi, jika tidak ditindak tegas maka praktik pungli itu akan dianggap umum dan terjadi berulang seperti terjadi di Masjid Raya Al-Jabar.

“Harus ditindak, supaya ada efek jera. Pokoknya pemerintah harus berani tegakan hukum, jika hukum ditegakkan praktik pungli tidak akan terjadi di manapun. Kalau tidak ada tindakan tegas masyarakat juga bakal merasa bebas (pelaku pungli),” tegasnya.

Pungli Ciri Kepribadian Antisosial

Sementara itu, Psikiater RSIA Limijati Kota Bandung dr Elvine Gunawan menambahkan, praktik pungli di Masjid Al-Jabbar yang dilakukan warga sekitar, dan kasus serupa lainnya yang terus terulang, itu harus dilihat dari kepribadian setiap orang.

“Setiap orang kan punya ciri kepribadian masing-masing, ada memang ciri kepribadian dengan pertumbuhan moral yang baik sehingga mereka tahu moral, tahu hukum, tahu etika. Ada orang yang memang punya ciri kepribadian Antisosial. Antisosial itu keras sekali bertentangan dengan aturan sosial, dia berani langgar aturan, dia merasa aturan bisa dilanggar sesuai keuntungan dia, tidak punya empati dan tidak punya rasa bersalah,” kata Elvine.

Menurutnya, untuk gangguan kepribadian antisosial angkanya cukup tinggi, terutama pada daerah yang memiliki perekonomian rendah, pendidikan rendah, proses parenting di wilayah tersebut cenderung negatif dan memiliki angka risiko kriminalitas tinggi.

Sehingga, kata Elvine, nilai-nilai sosial di sana dibangun dengan konsep sosial budaya destruktif. Menurutnya, pada proses pembangunan atau Majid Al-Jabbar bisanya melihat faktor sosial budaya di wilayah itu seperti apa.

Jika memang faktor sosial budayanya seperti itu dan tidak diintervensi maka kasus serupa akan terus terjadi. Kita juga tidak bisa melulu menyalahkan masyarakat sekitar yang melakukan pungli, bisa jadi hal tersebut dilakukan masyarakat sekitar karena terpaksa.

“Kita tidak adil kalau melihat dari sisi itu, secara ekonomi mereka kekurangan dan itu salah satu ranah ekonomi dan membuktikan apakah pembangunan di satu daerah dibarengi dengan pembangunan SDM-nya atau tidak. Jadi apakah memang ketika dibangun sesuatu, rakyatnya masih miskin, wajar mereka mengais rezeki,” jelasnya.

Solusi yang Harus Dilakukan Pemerintah

Untuk solusi dari masalah pungli di tempat wisata, sebuah observasi harus dilakukan oleh pemerintah, apakah memang benar kehadiran, misalnya masjid Al-Jabbar ini, menjanjikan jadi sumber perekonomian atau tidak.

“Kalau kita membangun di daerah kumuh, terlantar, miskin dan terpinggirkan, fenomena seperti ini menjadi kesempatan. Kalau kita lihat dari kereta pinggir Al-Jabbar itu rumah-rumah bedeng, jadi mereka melihat ini bakal menjadi perbaikan ekonomi, karena selama ini mereka warga termarjinalkan,” tuturnya.

Terkait dengan lapangan pekerjaan juga, apakah dengan adanya masjid tersebut memberikan lapangan pekerjaan atau tidak bagi masyarakat, atau apakah selama ini mereka juga terlahir dan hidup dari belas kasih orang lain.

“Mereka lihat, masa orang mau beramal di masjid tapi kita hidup kesusahan, jadi melihat ini sebagai pekerjaan. Kita lihat, misal yang melakukan fenomena ini di usia 40-50 tahun. Sekarang minimal pekerjaan yang rada baik itu maksimal 35-40 tahun, mereka mau kerja apa? kalau tidak premanisme. Karena premanisme itu kerjaan yang tidak perlu ada batasan usia dan tidak perlu ada modal,” terangnya.

“Solusi harus dilakukan pemerintah diajak ngobrol warga lokalnya apakah ada sesuatu ketimpangan di sana, enggak adil juga kalau langsung men-judge, ada masalah sosial yang tidak pernah tercetuskan. Kalau dilihat komentar netizen sama, daerah sini bukan daerah yang siap dibangun, tapi tidak ada upaya intervensi terhadap faktor sosial budaya dan manusianya di sana, semoga ke depan bisa lebih baik ya,” pungkasnya.

——

Artikel ini telah naik di detikJabar.

Simak Video “KPK Tahan 15 Tersangka Kasus Pungli Rutan, Salah Satunya Karutan
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version