Minggu, Januari 5


Jakarta

PDIP merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) minimal 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Ketua DPP PDIP Said Abdullah mengusulkan rekayasa konstitusional dapat dilakukan melalui mekanisme kerja sama atau koalisi partai dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Mulanya, Said menyampaikan partainya patuh atas putusan MK tersebut. Said menyinggung pertimbangan putusan MK memerintahkan pembentuk undang-undang dapat melakukan rekayasa politik terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.

“Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat,” ujar Said kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).


“Dalam pertimbangan putusan MK di atas, MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR untuk mengatur dalam undang-undang agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak yang berpotensi merusak hakikat pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. MK dalam pertimbangannya meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional, namun tetap memperhatikan hal-hal,” kata dia.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR ini menyebut pencalonan presiden dan wakil presiden dapat tetap dilakukan gabungan partai politik tanpa menciptakan dominasi. Hal ini, menurut dia, turut melibatkan partai politik nonparlemen sebagaimana diperintahkan MK.

“Seperti, semua parpol boleh berhak mengusulkan capres dan cawapres dan pengusulan tersebut tidak didasarkan pada persentase kursi DPR atau suara sah nasional, namun pengusulan pasangan capres dan cawapres itu dapat dilakukan gabungan partai dengan catatan tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai yang menyebabkan terbatasnya pasangan capres dan cawapres. Dan membuat perekayasaan konstitusional tersebut, MK memerintahkan agar pembuat undang-undang melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. Atas pertimbangan dalam putusan amar di atas, tentu kami akan menjadikannya sebagai pedoman nanti dalam pembahasan revisi undang undang pemilu antara pemerintah dan DPR,” katanya.

Said berpendapat perlu ada mekanisme kerja sama parpol dalam pencalonan presiden dan wakil presiden untuk memperkuat dukungan politik parpol di DPR nantinya. Menurutnya, hal ini dapat diatur tanpa mengurangi hak setiap parpol dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden.

“Semangat kami di DPR saat pembahasan pasal 222 dalam UU Pemilu adalah untuk memperkuat dukungan politik yang kuat di DPR terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Sebab, dengan dukungan DPR yang kuat, maka agenda kebijakan, anggaran, dan legislasi dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dapat berjalan dengan lancar karena dukungan DPR yang kuat,” ujar Said.

“Dengan lahirnya putusan MK ini, maka kami akan menggunakan mekanisme perekayasaan konstitusional yang diperintahkan oleh MK melalui mekanisme kerja sama atau koalisi partai dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan mengatur mekanisme kerja sama partai, dengan tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden, maka presiden dan wakil presiden terpilih tetap akan memiliki dukungan politik yang kuat di DPR,” lanjut dia.

Selain itu, Said mengusulkan rekayasa konstitusional dengan memperketat syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Syarat kualifikasi presiden itu, menurut dia, dapat diuji oleh lembaga negara atau perwakilan tokoh masyarakat.

“Perekayasaan konstitusional yang diperintahkan oleh MK dalam pertimbangan putusannya juga dapat kami lakukan dengan mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden agar memenuhi aspek kepemimpinan, pengalamannya dalam peran publik, pengetahuannya tentang kenegaraan, serta rekam jejak integritasnya, agar penggunaan hak dari semua partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden memenuhi aspek yang bersifat kualitatif yang kami maksudkan tersebut. Pengujian syarat aspek-aspek yang bersifat kualitatif terhadap bakal calon presiden dan wakil presiden dapat dilakukan oleh unsur dari perwakilan lembaga lembaga negara, dan perwakilan tokoh masyarakat sebagai bagian syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU,” pungkasnya.

Putusan MK

Diketahui, putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam putusan itu mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.

Simak Video ‘Aria Bima Ngaku Tak Tahu Video ‘Borok’ Pejabat yang Disinggung Hasto’:

[Gambas:Video 20detik]

(fca/dnu)

Membagikan
Exit mobile version