Jakarta –
Wakil Ketua (Waka) Komisi XI DPR, Hanif Dhakiri, bicara tentang kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Menurutnya, penerapan kebijakan itu tak bisa dipukul rata terhadap seluruh masyarakat.
Hal itu disampaikan Hanif dalam diskusi Insight Hub Vol 2 bertajuk ‘Wacana PPN 12%, Solusi Fiskal atau Beban Baru bagi Masyarakat?’ yang digelar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (14/15/2024).
“Daya beli masyarakat kita memang menurun dari beberapa fakta, tapi kita lihat penghasilannya, stagnan bahkan sebagian menurun. Itu lah kenapa daya beli menurun, harga cenderung naik, penghasilan stagnan cenderung menurun,” kata Hanif.
“Sehingga ketika bicara PPN itu jika dipukul rata praktis akan membebani masyarakat di kalangan menengah ke bawah,” lanjut dia.
Hanif menyebut jika diterapkan PPN 12% akan meningkatkan pendapatan negara hingga Rp 80 triliun. Namun, dia menilai lebih penting melihat juga kemampuan rakyat guna memastikan produktivitas penerapannya.
“Jadi saya pertama-tama tidak ingin melihat dari sisi penerimaan negara dulu, saya ingin melihat justru dari kemampuan rakyat kita bayar dulu,” ucapnya.
“Pajak tinggi setuju nggak? Setuju, selama masyarakatnya punya kemampuan untuk membayar. Kalau tidak, ya malah nanti akan muncul social unrest. Bukan penerimaan negara naik, negara ribut, iya,” sambung Hanif.
Karena itu, Hanif menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek sebelum menerapkan satu kebijakan. “Itu kenapa skenario terbaik dari implementasi PPN 12% ini menjadi sangat penting memastikan agar upaya menaikkan pendapatan negara itu jangan sampai menimbulkan ketidakstabilan sosial di masyarakat, sekaligus menambah beban ekonomi di masyarakat,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Think Policy, Andhyta Firselly Utami, menyoroti tentang penggunaan pajak yang dibayarkan masyarakat.
“Ini yang juga penting adalah emang dipakai buat apa sih? Kelas menengah tuh mau tahu itu aja,” kata Afu.
Terlebih, kata dia, ada fenomena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik. “Nah di dunia hari ini, di mana kita bahkan tidak percaya atau tingkat kepercayaan terhadap pemerintah pada umumnya, terhadap DPR cukup rendah. Kan jadi pertanyaan Rp 70 triliun tambahan ini mau dipakai untuk apa?” ucapnya.
Hal senada disampaikan oleh eks Stafsus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo. Dia menyebut persepsi publik terhadap pejabat negara yang tidak amanah menjadi salah satu alasan adannya resistensi terhadap kebijakan kenaikan PPN.
“Saya ambil contoh yang muncul di publik. Saya nggak rela bayar pajak, mau polisi yang mestinya mengayomi saya, malah nembak pelajar. Nembak sesama polisi, gitu kan,” kata Yustinus mencontohkan.
“Lalu kan kita mikir, kalau saya yang bayar pajak untuk mengongkosi begitu, buat apa? Dan ini banyak, apa lagi kemarin yang dokter dipukul-pukul juga itu kan. Nah ini kan kejadian. Ternyata pejabat juga bapaknya,” sambung dia.
Karena itu, Yustinus menilai penting bagi pejabat negara untuk menjaga tingkah laku serta citra selaku abdi negara. Termasuk agar tidak berlaku arogan di lingkungan masyarakat.
“Nah ini menurut saya juga agenda yang baik. Mendorong belanja berkualitas antara lain tercermin dari penyelenggara-penyelenggara yang amanah,” imbuhnya.
(ond/rfs)