Minggu, Maret 30


Jakarta

Pemain legendaris Jerman Philip Lahm mewanti-wanti timnas Inggris. Manajer Inggris, Thomas Tuchel, punya kecenderungan terlibat konflik.

Tuchel menjabat sebagai pelatih Inggris per Oktober 2024 lalu. Ia mengisi posisi yang ditinggalkan oleh Gareth Southgate.

Sejauh ini startnya bagus, dengan Inggris memenangi dua laga pertama di bawah arahannya. Tim Tiga Singa menang 2-0 atas Albania pada 22 Maret 2025 lalu dan 3-0 atas Latvia, Selasa (25/3) dini hari WIB di Kualifikasi Piala Dunia 2026.


Menangani Inggris, Tuchel menanggung tekanan untuk membawa tim menuntaskan misi besar: mengakhiri penantian juara Piala Dunia. Sepanjang sejarahnya, Inggris baru sekali memenangi trofi itu yakni pada 1966.

Mantan pemain Jerman Philip Lahm menilai Tuchel punya pengetahuan taktik yang mumpuni. Salah satu buktinya adalah mengantar Chelsea juara Liga Champions.

Tapi tantangannya bukan di sana. Lahm juga melihat Tuchel punya kecenderungan terlibat konflik personal.

“Segala sesuatunya tidak selalu berjalan baik untuknya dan ketika gagal, tidak pernah disebabkan taktik melainkan karena hubungan interpersonal,” tulisnya dalam kolom di The Athletic.

“Kepergiannya dari Mainz diwarnai keluhan-keluhan. Di Dortmund, ada konflik dengan manajemen klub, di Paris dengan Neymar dan Kylian Mbappe, dan di Chelsea, dengan Todd Boehly dan Clearlake Capital setelah mereka membeli klub.”

“Tidak peduli di mana dia bekerja, ketegangan-ketegangan tampak muncul di satu titik. Di luar Mainz, Tuchel tidak pernah bertahan tiga tahun di manapun.”

“Seorang pelatih nasional harus jadi moderator dengan perasaan yang baik buat para pemainnya. Dia harus menciptakan hierarki dengan mengidentifikasi lalu memperkuat para pemimpin di dalam klub.”

“Southgate dulu tahu bagaimana caranya menciptakan lingkungan yang harmonis. Tuchel, di sisi lain, lebih menuntut dan jauh lebih perfeksionis. Tendensinya menuju ke konflik, dan di publik, bisa merusak,” imbuh mantan pemain Bayern Munich tersebut.

(raw/cas)

Membagikan
Exit mobile version