Jumat, November 29

Jakarta

Prof Deendarlianto Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM) mendukung pengalihan ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Dia berpesan agar pemerintah tetap teguh dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang sudah dibuat matang untuk mengejar net zero emission.

Dia setuju bahwa pengembangan EBT harus dikejar mulai dari sekarang. Ini dikarenakan perubahan iklim telah menjadi masalah besar dunia yang harus dipecahkan bersama-sama.

“Kemudian juga adanya Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), di mana produk metal kita tidak bisa diterima di Eropa Barat kalau masih menggunakan energi fosil,” kata Prof Deen kepada detikINET melalui sambungan telepon, Selasa (26/11/2024).


Namun, dia menyebut bahwa semua bisa dilakukan secara paralel. Produksi untuk produk-produk yang disyaratkan dalam CBAM itu dapat memanfaatkan energi terbarukan. Jadi, kita juga memiliki progres dalam perencanaan menuju net zero emission.

“Tahun sekian hidrogen, tahun sekian biofuel, tahun sekian listrik, itu sudah ada perencanaannya. Oleh karena itu, saya pikir perencanaan yang sudah matang itu dilaksanakan saja sih. Jangan sampai kita tidak melihat itu,” katanya.

Prof Deen berpendapat bahwa lebih baik kita memakai PLTU sampai umurnya berakhir. Nanti, ketika ada demand (permintaan) yang berlebih, demand itu dapat menggunakan EBT. Ketika masa pakainya selesai, maka bisa digantikan lagi dengan EBT.

“Jadi kita tidak usah terburu-buru kalau saya sih, harus dihitung dulu demand-nya, supply-nya, dan economic impact-nya apa,” katanya.

“Karena saya khawatir gini, kalau seandainya kita terlalu terpaksa terburu-buru menggunakan energi baru terbarukan, kalau ujung-ujungnya import ya industri kita mau buat apa? Kita lebih dari 60% listrik kita dari batu bara. Jadi kalau mau dipensiunkan dalam 15 tahun, kalau saya sih perlu perhitungan yang matang,” tambah Prof Deen.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menjabarkan berbagai rencana untuk sumber energi. Disebutkan di sana bahwa peran EBT pada 2025 harus berperan paling sedikit 23% dan 31% pada 2050. Untuk peran batu bara, ditargetkan minimal menjadi 30% pada 2025 dan minimal 25% pada 2050.

Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT mencapai 13.155 MW hingga akhir 2023. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sampai 2023 sebesar 3.322 MW, dengan kenaikan rata-rata 6% per tahun. Hingga 2023, bauran EBT di Indonesia baru mencapai 13,09%.

(ask/fay)

Membagikan
Exit mobile version