Senin, Oktober 14


Badung

Sudah 22 tahun berlalu sejak Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002. Namun rasa kehilangan masih begitu terasa bagi keluarga korban.

Meski sudah 22 tahun, ingatan Chris Murphy, warga Australia, tak pernah lekang atas kematian ibunya, Jennifer Ann Murphy di Sari Club, Legian, Bali. Baginya, menerima kenyataan ibunya jadi korban bom Bali, masih terlalu sulit.

“(Tragedi bom Bali) menyakiti perasaan banyak orang. Apalagi, kehilangan anggota keluarga dalam tragedi itu, tentu sulit,” kata Chris usai meletakkan seikat bunga bersama anak istrinya di Tugu Peringatan Bom Bali, Sabtu (12/10/2024).


Murphy menuturkan, saat itu dirinya masih berada di Australia. Hanya sang ibu dan seorang teman ibunya bernama Nicole Maree Harrison yang berwisata di Bali.

Dua emak-emak asal Australia itu hanya ingin berenang dan menyelam di Pantai Kuta. Lalu menikmati hingar bingar kehidupan malam di Sari Club.

Namun tak disangka, malam itu sekitar pukul 23.00 Wita, 12 Oktober 2002, bom meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club yang menewaskan ibunya, teman ibunya, dan 200 korban tewas lainnya.

“Saat itu, ibu saya dan temannya hanya menyelam dan ningkrong sambil menikmati malam. Tapi, ternyata ibu saya berada di waktu dan tempat yang salah. (Saya) tak pernah bisa benar-benar merelakan (ibunya),” tutur Chris.

Steve Morgan setali tiga uang. warga Geraldton, Australia barat, menganggap tragedi pedih itu tak akan pernah terlupakan meski sudah dua dekade berlalu.

“Kami tidak lupa dan tidak akan pernah lupa,” kata Morgan.

Dua dekade lebih berlalu, Morgan berharap kejahatan kemanusiaan itu tidak terulang dimana pun. Apalagi di Bali, yang sudah dia anggap rumah kedua.

“Saya selalu mengingat kejadian ini. Banyak orang Australia dan orang Bali yang tak bersalah, tewas tanpa alasan,” katanya.

Morgan lalu menuturkan betapa beruntung dirinya yang tidak berada di lokasi kejadian malam itu. Dirinya yang memang berada di Bali, baru mengetahui tentang pemboman itu keesokan harinya dari siaran radio.

Saat itu dia mendengar berita pemboman di Bali yang menewaskan 12 orang. Hingga akhirnya dirinya mengetahui jumlah korban tewas dan luka berat yang terus bertambah.

Ni Luh Erniati agak berbeda. Dia berupaya legawa dengan kematian suaminya gegara peristiwa itu meski sulit. Ketua Yayasan Penyintas Indonesia itu berusaha melanjutkan hidup sambil mengenang suaminya yang bekerja di Sari club saat ledakan itu terjadi.

“Saya korban tidak langsung. Almarhum suami saya meninggal. Almarhum suami kerja di Sari Club waktu itu,” kata Erniati.

Setelah 20 tahun lebih, Erniati hanya ingin melanjutkan hidup dan berharap yang terbaik bagi para keluarga yang ditinggalkan. Dia juga berharap aparat keamanan dapat tetap menjaga keamanan di Bali.

“Agar tidak terjadi lagi bom di mana pun,” katanya.

Pantauan detikBali, sejumlah turis asing sudah terlihat berkunjung ke tugu peringatan itu sejak pukul 08.00 Wita. Ada yang sekadar melihat-lihat, ada juga yang turut mengenang dan mendoakan para korban yang namanya terpampang jelas di tembok tugu.

Beberapa di antaranya mengenang keluarga mereka yang tewas akibat ulah kawanan teroris. Sementara yang lain hanya ikut mendoakan warga senegaranya.

Beberapa orang dari Konsulat Jenderal Inggris dan Australia juga meletakkan karangan bunga di tembok tugu. Kemudian, ada 20 orang dari Yayasan Penyintas Indonesia yang menggelar doa dan tabur bunga untuk mengenang para korban bom Bali.

****

Baca berita selengkapnya di sini.

(bnl/bnl)

Membagikan
Exit mobile version