Kamis, Februari 20

Jakarta

Viral tagar #KaburAjaDulu dulu yang bergema di media sosial khususnya X. Di platform cuit singkat ini, banyak orang yang menyerukan pengalaman mereka pindah ke negara lain atau meninggalkan Indonesia.

Enda Nasution pengamat media sosial sekaligus Koordinator Bijak Bersosmed memberikan pandangannya terhadap fenomena ini. Menurutnya, hashtag ini sebenarnya sudah lama digunakan.

“Ini kalau nggak salah yang pertama kali menggunakan #kaburajadulu itu namanya Mas Yoel Sumitro yang menceritakan pengalaman dia pindah dan kemudian bekerja di Jerman. Ini pertama kali ditweetkan di akhir Desember 2024,” jelasnya melalui pesan singkat, Sabtu (15/2/2025) kepada detikINET.


“Kemudian terus berlanjut sampai sekarang sebagai sebuah ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang terjadi sekarang karena ekonomi dan juga sepertinya kondisi lapangan pekerjaan yang sulit. Juga beberapa situasi yang menciptakan kesulitan-kesulitan, seperti budaya kerja, mungkin juga perilaku atasan, dan juga dibandingkan dengan kemudahan-kemudahan yang rasanya dinikmati oleh mereka yang bekerja di luar negeri dari gaji yang besar terus juga kesempatan mencari pengalaman dan lain sebagainya,” terangnya.

Tagar menurut Enda dapat dianalogikan sebagai sebuah poster atau tanda jalan. Ini menandai bahwa kalau di sini kita bicara tentang hal yang seputar topik tertentu saja.

Dengan demikian, dengan menggunakan hashtag #KaburAjaDulu semua perbincangan informasi baru pemikiran opini yang ada hubungannya masih dengan tema atau isu itu ada di sana. Semua orang bisa mengikutinya dengan cara mudah yaitu tinggal klik tagar tersebut.

Cara bijak menanggapi #KaburAjaDulu

Enda mengatakan bahwa media sosial mungkin bisa dibilang sebagai sebuah ruang publik yang mampu membuat masyarakat menangkap ekspresi dan juga aspirasi dari anak-anak muda, para pengguna medsos.

Biasanya ketika sebuah hashtag menjadi viral, itu karena memang banyak yang merasa related. Ada juga yang merasa ini adalah sebuah topik yang menarik sehingga memang akhirnya banyak yang ikut dalam percakapannya jadi berkontribusi dalam percakapan tersebut. Misalnya dengan menambahkan informasi baru atau sekadar beropini.

“Nah, lalu bagaimana kita menyikapinya, sebenarnya apapun. Seperti juga bagaimana kita menyikapi apa yang terjadi di media sosial, yang pertama adalah tentu kita harus skeptis dahulu,” pendapatnya.

Memang, suatu informasi terbaru biasanya akan lebih menarik. Tapi, sebelum memberikan opini baik setuju maupun tidak, lebih baik lagi kita mendalami hal tersebut dengan mencari informasi lebih dalam. Jangan instan memberikan ekspresi yang keras.

“#KaburAjaDulu ini orang bisa sepakat, bisa tidak sepakat. Seperti sekarang, kita lihat sudah mulai bergulir bahwa ada yang merasa tidak semua juga bekerja di luar negeri itu enak gitu atau ada juga yang merasa bahwa malah ‘kok ke luar negeri sih, tidak menyelesaikan masalah di dalam negeri dulu’, ‘tidak nasionalis’ dan lain sebagainya,” ujar Bapak Blogger Indonesia ini.

“Jadi, memang pada esensinya percakapan di media sosial itu adalah sebuah percakapan dan ini sebuah dialog. Bisa jadi memang tidak ada yang 100% benar dan 100% salah, tapi masing-masing pengguna akhirnya bisa mengambil kesimpulannya sendiri dan mempercayai atau mengikuti apa yang dia pengen setujui,” tandasnya.

(ask/ask)

Membagikan
Exit mobile version