Bandung –
Pocari Sweat Run Indonesia 2024 selesai digelar di Bandung. Begini pengalaman langsung para peserta yang berlari sambil dibayangi klakson pengendara, juga umpatan.
Race lari rekreasi itu diklaim diikuti 42 ribu peserta dan digelar dua hari, yakni pada Sabtu (20/7) untuk kategori 5 km dan Minggu (21/7) untuk kategori 10 km, half marathon, dan marathon.
Event itu adalah salah satu yang bergengsi di kalangan pelari. Selain itu, pelari sejatinya juga menikmati suasana lari di Bandung karena cuacanya yang cukup bersahabat dan sejuk. Namun, mereka dihadapkan oleh jalur yang tidak steril yang membuat bersinggungan dengan pengendara dan warga.
Pelari pun sempat merasakan kemarahan dari para pengendara yang mesti disetop saat gelaran lari berlangsung dan membuat kemacetan.
“Seperti biasa lari di Bandung punya ciri khas tersendiri, Bandung punya udara yang sejuk dan ramah pelari, sehingga heart rate kita nggak gampang naik. Ini jadi salah satu perbedaan dengan race di tempat lain,” kata salah satu peserta, Ronald Manullang, saat dihubungi detikTravel, Selasa (23/7/2024).
Tetapi, sayangnya cuaca yang nyaman buat para pelari itu tidak didukung oleh sambutan warga lokal. Pelari harus menghadapi laju kendaraan dan kebisingan klakson, serta teriakan dan hujatan warga.
“Ya betul, banyak warga Bandung yang belum 100 persen mendukung acara lari seperti ini, terlihat dari setiap kita melewati persimpangan di jalan besarnya pengendara ingin menunjukkan kemarahannya dengan memberi suara atau klakson yang kencang. Dan kadang ada yang ingin menerobos jalan yang sedang diberhentikan oleh petugas kepolisian dan marshall,” Ronald yang biasa berlari di Jakarta itu.
“Sebenarnya enak banget kemarin lari di Bandung, suhunya 19 derajat kalau nggak salah. Nyaris nggak keringetan, tapi ya kurang steril aja,” kata pelari lain Tabuti.
Senada dengan itu, pelari lain Randra juga mengisahkan pengalaman yang sama. Ia menjelaskan titik-titik macet pengendara bermotor bahkan terjadi di setiap persimpangan yang dilewati pelari.
“Kemarin sih sempat ngalamin konflik yang berpapasan, bersimpangan dengan warga-warga dengan pengendara-pengendara, terutama ketika pengendaranya disetop untuk para pelari pocari itu lari, mereka klakson-klakson kurang sabar. Jadi jalurnya kurang steril sih kemarin,” ujar dia.
“Kalau titik-titik macet hampir di setiap persimpangan yang dilewati pelari itu juga jadi titik-titik macet dan itu menjadi salah satu mungkin protesnya warga karena jalanan sementara ditutup untuk pelari lewat,” dia menambahkan.
Di Pocari dia mengikuti gelaran lari 10 kilometer. Saat itu, dia mengalami dua hingga tiga kali disetop untuk bergantian dengan pengendara roda dua dan roda empat lainnya.
Ia menyarankan untuk penyelenggaraan event marathon semestinya dipilih rute yang lebih steril. Itu agar tidak mengganggu para warga ataupun pelari.
“Penyelenggara event-event marathon sih sebaiknya dipersiapkan lagi rutenya yang jauh dari bersinggungan dengan pengendara-pengendara sih. Terutama di persimpangan-persimpangan besar, kalau bisa juga mempersiapkan rutenya lebih steril lagi,” kata dia.
Selain masalah sterilisasi rute, masalah lain yang menimpa pelari adalah instruksi dari petugas marshall yang kurang jelas. Alhasil, banyak peserta yang tersasar dan berlari melebihi jarak yang seharusnya.
Ronald, yang mengikuti kategori 10 kilometer, pun sampai menempuh jarak 11 kilometer karena sempat tersesat.
“Race kadang buat kita pelari adalah tempat mencari Personal Best kita masing-masing dari sebelumnya. Kita sudah mempersiapkan untuk latihan beberapa bulan sebelumnya,” kata Ronald.
“Kesalahan teknis seperti marshal di lapangan ini sangat merugikan kita, hendaknya marshall yang di lapangan sudah benar-benar di-brief maksimal. Mereka harus tau warna BIB Kuning, Biru dan Merah untuk kategori apa,” dia menegaskan.
“Jadi kalau ada runners yang tersesat mereka bisa segera membantu bukan membuat kita tidak membuang terlalu banyak waktu,” Ronald menambahkan.
(wkn/fem)