Senin, Maret 3


Jakarta

Kuasa hukum Baim Wong, Fahmi Bachmid, memberikan tanggapan perihal bukti video CCTV yang memperlihatkan adanya dugaan tindak kekerasan yang Paula Verhoeven bawa ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Fahmi Bachmid menyebut bukti tersebut tak berkekuatan hukum.

“Saya melihat apa yang disampaikan tidak berkekuatan hukum. Satu, tidak pernah ada laporan polisi. Sangat ironis jika seseorang mengaku ahli tapi dia tidak paham proses hukum KDRT itu harus lapor polisi,” kata Fahmi Bachmid saat wawancara virtual, Jumat (28/2/2025).

Fahmi Bachmid menegaskan bukti video CCTV yang memperlihatkan dugaan kekerasan seharusnya diperkuat dengan visum. Visum bisa dilakukan setelah melapor dan polisi akan membuatkan rekomendasi visum.


Dalam hal ini Fahmi Bachmid curiga tak adanya laporan visum yang dilakukan Paula Verhoeven atas dugaan kekerasan yang dialaminya. Paula Verhoeven juga pada persidangan tanggal 26 Februari 2025 mendatangkan saksi ahli forensik digital, Abimanyu.

“Siapapun tidak punya hak menjelaskan ada atau tidaknya KDRT karena dia tidak punya kapasitas,” lanjut Fahmi.

“Bukti video harus diverifikasi dengan lab forensik. Apabila tidak, maka itu tidak ada kekuatan hukum. Anggap tidak pernah ada. Ada dua hal yang terpenting, bahkan tiga. Satu, tidak pernah ada laporan polisi, tidak pernah ada visum, videonya patut diragukan keasliannya,” tukasnya.

Deretan faktor di atas membuat Fahmi Bachmid mempertahankan spekulasinya dan meragukan video CCTV yang dijadikan bukti oleh Paula Verhoeven.

Setelah bersaksi di persidangan Paula Verhoeven dan Baim Wong, Abimanyu memberikan penjelasan.

“Di dalam saya diminta untuk memberikan penjelasan mengenai adanya rekaman CCTV kegiatan di suatu ruangan. Jangan lupa ini sidang tertutup ya, jadi saya juga tidak akan berbicara banyak. Ada bukti CCTV di dalam suatu ruangan, di mana terjadi ada semacam pertikaian antara kedua belah pihak (Baim dan Paula),” ujar Abimanyu di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Rabu (26/2/2025).

Abimanyu menjelaskan dalam video itu terlihat adanya percekcokan. Sampai-sampai terjadi pembicaraan yang keras.

“Jadi yang pihak prianya tersebut bicara keras kepada wanita kemudian ada suatu bentak-bentakan, ada suatu bicaranya agak kencang sehingga membuat suasana jadi semakin tidak kondusif dan dari perbuatan tersebut,” tuturnya.

“Kalau yang wanita ya diam aja. Dia ngomong tenang, tetapi yang ini agak keras karena diam aja, mungkin jadi ada membuat yang prianya jadi pengin intens untuk berinteraksi dengan yang wanitanya untuk ngomong gitu ya, minta respons sampai kemudian terjadi kontak tubuh ya secara keras,” jelas Abimanyu.

Namun, Abimanyu tidak bisa menyimpulkan kejadian itu termasuk KDRT atau bukan karena dirinya adalah ahli telematika.

“Silakan diterjemahkan. Kalau saya bahasanya bahasa telematika. Jadi kalau gini, kalau bahasa telematikanya kita melihat bahwa itu terjadi adanya suatu kontak kekerasan sampai ada suatu terjadi benturan. Apakah itu termasuk kriteria KDRT atau bukan silakan itu secara pakar hukum nantinya menilai,” tegasnya.

“Tetapi kalau di bahasa telematika kita melihat ada suatu bukti, suatu kontak keras di CCTV. Di CCTV bukti keras benturan dan terkena sampai yang satu dihajar terpental. Iya di situ ada kontak, ya okelah pihak pria (yang melakukan). Kemudian pihak wanitanya sampai terpental karena hal tersebut, lalu juga ada kontak, jadi melakukan sesuatu ke kepalanya yang wanita. Sehingga dengan pergerakan tangan yang membuat kepala wanita sampai kayak kedorong ke depan,” pungkas Abimanyu.

(pig/pus)

Membagikan
Exit mobile version