Selasa, November 5


Jakarta

Abdul Kadir Usman bisa dibilang sebagai pendaki senior. Dia mengatakan ada perbedaan mendaki gunung dulu dan sekarang.

Selain karena telah berusia 61 tahun, pria yang akrab disapa Bisir itu juga sudah mendaki puluhan gunung. Dia memulai pendakian pertamanya saat duduk di bangku SMA.

Kemudian, Bisir mulai menjadikan mendaki gunung sebagai kegiatan rutin setelah tergabung di organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) saat kuliah.


Bahkan setelah lulus dari kuliah, dia masih memilih mendaki gunung sebagai aktivitas libur.

Hingga kemudian dia dipaksa mengalah oleh kelebihan berat badan dan diabetes. Tetapi kemudian mulai 2018, dia pulih dan kembali rutin mendaki gunung kembali.

Abdul menjelaskan pendakian saat ini sudah lebih mudah karena tren mendaki sudah umum di masyarakat.

“Saat ini berbeda dengan dulu ya, sekarang pendakian sudah ramai bahkan terkadang di beberapa gunung di Pulau Jawa perlu ngantri bergantian saat melintasi jalur pendakian,” kata Bisir saat dihubungi detikTravel, Kamis (18/7/2024).

Sementara itu, dulu pendakian relatif sepi. Bahkan, menjadi hal lumrah hanya menjumpai satu atau dua rombongan setiap kali mendaki gunung.

Perbedaan itu, menurut Bisir, membuat aktivitas mendaki gunung relatif lebih mudah dilakukan kendati bagi awam.

Selain itu, saat ini sudah ada beragam fasilitas pendukung, seperti porter hingga ojek di beberapa gunung. bagi pendaki yang kesulitan dalam pendakian pun menjadi lebih mudah meminta bantuan jika terkendala saat pendakian.

Seluruh aspek itu membawa tren pendakian ke beragam demografi. Ia menyebut saat ini kerap melihat pendaki-pendaki muda yang mendaki gunung untuk memburu konten. Mereka mendaki gunung tidak kucel lagi, tetapi wangi dan berdandan atau merias diri sesampainya di puncak gunung untuk mengabadikan momen dan membuat konten.

“Nggak ada masalah selagi mereka taat aturan, nggak mengganggu sesama dan lingkungan. Malahan kami senang juga di atas gunung (pendaki) ada yang wangi pakai parfum gitu,” kata Bisir seraya bercanda.

Tetapi, meningkatnya jumlah pendaki dan kemudahan mendaki gunung itu ada efek negatifnya. Yang paling mencolok adalah kontrol terhadap sampah semakin berkurang.

Ya, gunung yang dulu adalah rumah para pencinta alam, kini juga dijajaki oleh oknum-oknum yang ingin menikmati keindahan tetapi kurang bertanggung jawab.

Dari pengalamannya mendaki gunung setelah berusia lanjut ini, sampah menjadi pemandangan biasa di jalan dan tempat mendirikan tenda. Dia menyayangkan sikap para pendaki yang tidak membawa pulang sampah yang mereka bawa.

“Sekarang yang membuat miris itu kan mereka nggak punya kesadaran, tanpa pendidikan, bahwa dia lagi menikmati alam, tetapi membuang sampahnya sembarangan,” ujar dia.

Di sisi lain, salah satu yang menjadi pembeda dari aktivitas mendaki saat ini adalah khidmat dan ketenangan. Karena telah banyaknya masyarakat melakukan pendakian maka jalur pendakian dan bahkan pelawangan padat pendaki.

“Dulu waktu belum banyak pendaki, suara-suara alam tuh muncul kayak suara burung dan lainnya. Namun, ketika orang banyak kan biasanya menjauh suara itu. Makanya saya seringnya menghindari pendakian di akhir pekan,” ujar dia.

Perihal kedekatan dengan masyarakat sekitar pun juga berbeda saat ini dengan beberapa tahun silam. Ia berujar, dulu masyarakat bisa sangat dekat dengan warga di kaki gunung hingga menginap dan makan bersama warga. Namun kini dengan banyaknya pendaki dan pengelolaan gunung yang sudah formal, kedekatan itu perlahan agak luntur.

Namun, satu hal yang ia apresiasi adalah eratnya hubungan antar pendaki masih dapat dirasa hingga kini. Ia masih kerap berbagi ataupun bertukar barang hingga makanan ketika saling membutuhkan, hingga bercengkrama satu sama lain.

Ya, meskipun saat mendaki dia tidak lagi disapa sebagai bro atau bang atau mas atau aak, tetapi mbah atau kakek atau aki-aki.

(wkn/fem)

Membagikan
Exit mobile version