Sabtu, November 30


Jakarta

Pemilik usaha pariwisata di Spanyol mulai khawatir rentetan protes terhadap wisatawan berbuntut panjang. Mereka waswas wisatawan bakal takut datang.

Wilayah favorit seperti Kepulauan Balearic, termasuk Majorca, Kepulauan Canary hingga Barcelona kini mulai mengalami perubahan dari segi jumlah pengunjung. Banyak yang berpendapat bahwa pariwisata yang berlebihan telah menyebabkan penurunan kualitas hidup dan meningkatnya biaya hidup.

Dikutip dari Express, Jumat (29/11/2024) kemarahan yang terjadi tercermin dalam berbagai aksi protes di Majorca, termasuk pengambilalihan pantai dan demonstrasi besar yang melibatkan ribuan orang berbaris melalui jalan-jalan Palma, beberapa di antaranya diorganisir dengan tujuan mengganggu wisatawan secara langsung.


Seorang pemilik bisnis pariwisata mewah menilai protes itu bisa berdampak kepada usaha pariwisata di Spanyol. Dia menyatakan protes itu bukanlah cara terbaik untuk menarik perhatian terhadap masalah pariwisata yang berlebihan. Bahkan, dapat berisiko mengusir wisatawan dari Majorca dan mengalihkan mereka ke pulau-pulau lain yang lebih ramah di negara lain, di mana mereka akan merasa lebih diterima.

Salah satu pendiri Insider Villas, Olivier Heuchenne, memperingatkan bahwa protes semacam itu dapat memberikan dampak negatif yang besar, bahkan bisa merusak citra tempat tersebut.

“Orang-orang mungkin akan berkata ‘Saya tidak akan pergi ke Majorca karena mereka membuat keributan, saya akan pergi ke Sisilia di mana mereka tidak mengadakan protes,’ di sana lautnya sama, cuacanya mirip, pemandangannya serupa, dan makanan khas Italia yang juga bisa dinikmati. Mereka bisa dengan mudah beralih destinasi ke Sisilia,” kata dia.

Pada tahun 2023, Sisilia menerima hampir 16,5 juta wisatawan, meningkat 10,8% dibandingkan tahun sebelumnya, termasuk lebih dari delapan juta wisatawan asing. Sebagai perbandingan, Majorca hanya menerima sekitar 12,5 juta wisatawan, namun tidak ada protes pariwisata yang berlebihan di pulau Italia tersebut.

“Saya rasa ini bukan cara terbaik, tapi ada cara yang lebih baik untuk menjangkau orang-orang yang bisa memberi dampak. Saat ini ada kesenjangan antara mereka yang ingin memberi perubahan dan mereka yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi,” ujar Heuchenne.

“Pariwisata massal dan protes massal tidak akan menyelesaikan masalah, itu hanya akan merusak infrastruktur. Harus ada cara yang lebih baik untuk bernegosiasi dan menyelesaikan masalah ini agar masyarakat bisa didengar, itulah yang membuat mereka frustrasi, karena merasa tidak didengar,” kata dia.

Sementara itu, Juru Bicara Organisasi ‘Mens Turisme, Més Vida’ (Kurangi Pariwisata, Tingkatkan Kehidupan), Julia Isern, mengatakan bahwa protes merupakan langkah terakhir setelah berbagai kegiatan lain seperti unjuk rasa.

“Selalu sulit untuk memobilisasi masyarakat, jadi protes secara historis adalah momen ketika semua orang turun ke jalan dan itu sangat mengesankan secara visual. Kita semua memiliki tujuan yang sama, sebagai warga kami ingin untuk satu hari nanti keluar dan melepaskan kemarahan yang selama ini kami pendam,” kata dia.

Isern menegaskan bahwa organisasi mereka tidak menentang pariwisata atau wisatawan itu sendiri. Ia menyatakan protes itu fokusnya untuk memengaruhi pemerintah bukan untuk wisatawan.

Isern menjelaskan bahwa penduduk lokal telah merasakan dampak dari pariwisata berlebihan selama 10 tahun terakhir, akibat model pariwisata yang tidak memperhitungkan kebutuhan mereka.

“Kami membayar harga yang sangat tinggi karena model tersebut. Tahun ini, untuk pertama kalinya, wisatawan juga merasakan dampaknya,” ujar Isern.

(upd/fem)

Membagikan
Exit mobile version