Kamis, November 14

Jakarta

Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden berencana mendukung perjanjian terkait kejahatan siber di PBB, sekalipun perjanjian tersebut dikhawatirkan bisa disalahgunakan oleh rezim otoriter.

Perjanjian itu akan menjadi perjanjian PBB pertama yang mengikat secara hukum dan menjadi kerangka hukum global bagi negara-negara untuk bekerja sama dalam mencegah dan menyelidiki penjahat siber.

Selain itu, perjanjian ini juga bisa mempercepat proses hukum untuk pelaku penyebaran gambar pelecehan seksual untuk anak, dan penyebaran gambar intim tanpa izin.


Dan, yang paling penting adalah perjanjian ini akan mempermudah proses ektradisi untuk penjahat siber yang bersembunyi di negara lain, demikian dikutip detikINET dari Bloomberg.

Namun di sisi lain, perjanjian tersebut ditakutkan bisa disalahgunakan oleh negara otoriter untuk orang-orang yang dianggap membangkang sampai ke luar negeri, bahkan bisa juga dipakai sebagai dasar hukum untuk mengumpulkan data dari lawan politik.

Ada ratusan masukan dari berbagai kelompok advokasi yang mengkritisi keterlibatan AS dalam perjanjian tersebut. Namun Pemerintah Amerika berencana menegakkan hak asasi manusia dan berbagai perlindungan lain ke dalam perjanjian ini.

Mereka juga menyebut kalau Departemen Hukum akan memantau dengan ketat setiap permintaan dan akan menolak memberikan bantuan yang tidak sesuai dengan perjanjian.

Pada Oktober lalu, ada enam senator Partai Demokrat yang menyebut perjanjian ini akan melegitimasi upaya negara otoriter seperti Rusia dan China untuk menyensor dan mengawasi pengguna internet, yang dengan kata lain akan memperparah pelanggaran hak asasi di berbagai negara.

“(Perjanjian ini) menjadi ancaman serius terhadap privasi, keamanan, kebebasan berekspresi, dan keamanan AI,” tulis enam senator tersebut dalam suratnya.

(asj/afr)

Membagikan
Exit mobile version